Translate


MAKALAH JUAL BELI DAN PERNIAGAAN DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermu’amalah antara satu dengan yang lainnya. Mu’amalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam mu’amalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih khusus datang dari Nabi. Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta diatur agama islam salah satunya dalam jual beli. Jual beli yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli seperti apakah yang dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang tidak diperbolehkan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Islam ? Apa saja rukun dan syaratnya? Apa saja macam-macam jual beli? Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.
B. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan jual beli dan perniagaan dalam Islam?
2.      Bagaimana rukun, syarat, dan hukum jual beli dalam Islam?
3.      Apa saja macam-macam dan bentuk jual beli dalam Islam?
4.      Apa saja persyaratan jual beli dalam islam?
C. Tujuan
1.      Memahami yang dimaksud dengan jual beli
2.      Mengetahui rukun, syarat, dan hukum jual beli dalam Islam
3.      Mengetahui macam dan bentuk jual beli dalam Islam
4.      Memahami persyaratan jual beli dalam Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian jual beli dan perniagaan
Secara terminologi fiqh jual beli di sebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, menukar dengan sesuatu yang lain. Menurut hanafiah pengertian jual beli (al-bay) secara definit yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang di inginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Hambaliyah, dan Syafi’iyah, bahwa jual beli (al-ba’i) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahann milih dan kepemilikan. Menurut pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, ba’i adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran antara benda dengan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang. Pada intinya jual beli adalah tukar menukar barang. [1]
para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
1.    Menurut ulama Hanafiyah : Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
2.    Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
3.    Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual ( yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) danpembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uangyang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak(dirham).
Jual beli ialah menukarkan barang dengan barang mengikut cara tertentu. Perniagaan ialah pertukaran barang dengan barang atau pertukaran barang dengan perkhidmatan (layanan). Syed Sabiq, pula mendefinisikan perniagaan sebagai satu proses iaitu apabila perniagaan itu berfungsi melalui pertukaran harta dengan harta di atas persetujuan penjual dan pembeli mengikut cara-cara yang diizinkan oleh syarak.
Prinsip Perniagaan Islam : Kebebasan, Kerelaan, Keadilan, Perlindungan, Kesopanan, Urusniaga tanpa riba, Layanan baik, Melindungi hak-hak penjual dan pembeli, Jujur dan amanah, Rajin dan tekun
      B.     Rukun (unsur) jual beli
Rukun jual beli ada tiga, menurut kompilasi hukum ekonomi syariah yaitu: [2]
1.      Pihak-pihak atau Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli :  (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
2.      Objek taransaksi, yaitu harga dan barang : Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual., Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli, Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima., Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3.      Akad (Transaksi/kesepakatan), yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakkan itu berbentuk kata-kata atau perbuatan. : Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
      C.    Dasar hukum jual beli
Jual beli telah disahkan oleh ayat al-quran, sunah Rasulullah saw dan ijma’, yang berbicara tentang jual beli, antara lain :
a.  Al-Quran
1.  Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
2.  Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
3.  Allah berfirmanSurah An-Nisa ayat 29 “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”
b.  Sunah Rasulullah saw
1.  Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw, ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah sawa, menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim).
     Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkah dari Allah SWT.
2.  Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah menyatakan : “Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”
3.  Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda : “Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi,shadiqqin, dan syuhada”.
c. ijma’
     Adapun dalil ijma’, adalah bahwa ulama sepakat tentang halalnya jual beli dan haramnya riba,  berdasarkan ayat dan hadis tersebut. Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh. 
         D.    Hukum jual beli
Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh).Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).Apabila seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya.[3]
Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah,misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barangyang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi. Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga. 
Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan. Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh seperti rokok.
Kontrak jual beli, menurut Al-Qur;an hendaknya tertulis, baik kecil maupun besar, bersamaan dengan syarat-syarat dan saksinya. Namun demikian, tidk ada dosa jika kontrak itu tidak tertulis, jika transaksi jual beli tersebut berlangsung tunai.[4]
       E.     Syarat sahnya jual beli[5]
1.      Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak untuk mrlakukan transaksi syarat mutlak keabssahannya, berdasarkan firman Allh dalam surah an-nisa ayat 29, dan hadis abn majah.
2.      Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yangtelah balig, berakal, dan mengerti. Maka, akad yang dilakukan oleh anak dibawah umur, orang gila, atau idiot tidak sah kecuali ada izin walinya, kecuali akad yang bernilai rendah seperti membeli kembang gula, korek api dan lain-lain.
3.      Harta ang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak. Maka, tidak sah melakukan jual beli tanpa seizin pemiliknya.
4.      Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan oleh agama. Maka, tidak boleh menjual barang haram seperti  khamar dan lain-lain.
5.      Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan. Maka, tidk sah jual mobil hilang, burung di angkasa.
6.       Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad. Maka, tidak sah barang yang belum jelas. Misalnya, pembeli harus melihat barang tersebut.
7.      Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual beli dimana penjual mengatakan: “aku jual mobil ini padamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya.”

       F.      Macam-macam jual beli
             Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a.   Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1)    Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2)    Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3)    Jual beli benda yang tidak ada,  Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
 b.   Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1)    Dengan lisan,  akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2)    Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
3)    Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c.    Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)   Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2)   Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1)   Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2)   Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a.  Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b. Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
c. Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
e. Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[6]
3)  Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
a)  jual beli barang yang wujudnya ada,namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar,yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d) Jual beli barang rampasan atau curian.
e) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.[7]

       G.    Bentuk-Bentuk Ba’i (Jual Beli)[8]
1.      Ditinjau dari sisi objek akad ba’i yang menjadi :
a)      Tukar menukar uang dengan barang. Ini bentk ba’i berdasarkan konotasi. Misalnya: tukar-menukar mobil dengan rupiah.
b)      Tukar menukar dengan barang,disebutkan juga dengan muqayadhah (barter). Misalnya tukar menukar buku dengan jam.
c)      Tukar menukar uang dengan uang, disebut juga dengan sharf. Misalnya : tukar menukar rupiah dengan real.
2.      Di tinjuau dari sisi waktu serah terima, ba’I di bagi menjadi empat  bentuk:
a)      Barang dan uang serah terima dengan tunai. Ini bentuk asal ba’i.
b)      Uang dibayar du muka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati , ini danakan salam.
c)      Barang diterima di muka dan uang menyusul, disebut dengan ba’I ajal (jual beli tidak tunai ).misal jual beli kredit.
d)     Barang dan uang tidak tunai, disebut ba’i dan bi dain (juak beli utang dengan utang).
3.      Ditinjau dari cara menetapkan harga,ba’i dibagi menjadi:
a)      Ba’i muawwah (juak beli dengan cara tawar-menawar), yaitu jual beli dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga pokom barang , akan tetapi menetapkan harga tertentu dan membuka peluang untuk tawar. Ini bentuk asal ba’i.
b)      Ba’i amanah, yaitu jual beli dimana pihak penjual menyebutkan harga pokok barang lalu  menyebutkan harga jual barang tersebut. Ba’i jelas ini terbagi lagi menjadi tiga bagian:
1)      Ba’i murabahah,yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan laba. Misalnya:pihak penjual mengatakan , “barang ini saya beli dengan harga Rp 10.000,-dan saya jual dengan harga Rp 11.000,-atau saya jual dengan laba 10% dari modal.”
2)      Ba’I al-wadh’iyyah, yaitu pihak penjual menyabutkan harga pokok barang atau menjual barang tersebut di bawah harga pokok. Misalnya, penjual berkata: “ barang ini saya beli dengan harga Rp 10.000,- dan akan saya jual harga Rp 9.000,- atau saya potong 10% dari harga pokok.
3)      Ba;I Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut. Misalnya, penjual berkata” barang ibu saya beli dengan harga Rp 10.000,- dan saya jual sama dengan harga pokok”.

           H.    Macam-macam jual beli yang terlarang[9]
1.         Jual beli gharar Adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan dan penghianatan.
2.         Jual beli mulaqih Adalah jual beli dimana barang yang dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina.
3.         Jual beli mudhamin Adalah jual beli hewan yang masih dalam perut induknya,
4.         Jual beli muhaqolah Adalah jual beli buah buahan yang masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan.
5.         Jual beli munabadzah Adalah tukar menukar kurma basah dengan kurma kering dan tukar menukar anggur basah dengan anggur kering dengan menggunakan alat ukur takaran.
6.         Jual beli mukhabarah Adalah muamalah dengan penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkan oleh tanah tersebut.
7.         Jual beli tsunaya Adalah jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas.
8.         Jual beli ‘asb al-fahl Adalah memperjual-belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak.
9.         Jual beli mulamasah Adalah jual beli antara dua pihak, yang satu diantaranya menyentuh pakaian pihak lain yang diperjual-belikan waktu malam atau siang.
10.     Jual beli munabadzah Adalah jual beli dengan melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek jual beli.
11.     Jual beli ‘urban Adalah jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.
12.     Jual beli talqi rukban Adalah jual beli setelah pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan mengetahui harga pasaran.
13.     Jual beli orang kota dengan orang desa Adalah orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran.
14.     Jual beli Musharrah adalah nama hewan ternak yang diikat puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini dilakukan agar harganya lebih tinggi.
15.     Jual beli shubrah Adalah jual beli barang yang ditumpuk yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam.
16.     Jual beli najasy adalah Jual beli yang bersifat pura-pura dimana si pembeli menaikkan harga barang , bukan untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga yang tinggi.

      I.       Saksi Dalam Jual Beli [10]
Jual beli dianjurkan di hadpan saksi,berdasarkan Allah QR.al-baqarah ayat 282 : “dan dipersaksikan apabila kalian berjual beli.”
Demikian ini karena jual beli yang dilakukan di hadapan saksi dapat menghindarkan terjadinya perselisihan dan menjauhkan diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena itu, lebih baik di lakukan, khususnya bila barang dagangan tersebut itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan mempersaksikannya. Ini adalah pendapat imam syafi’I, hanafiyah,ishak, dan ayyub.
Adapun menurut ibnu qudamah, bahwa mendatangkan saksi  dalam jual beli adalah kewajiban yag tidak boleh di tingggalkan. Pendapat ini diriwayatkan dari ibnu abbas da diikuti oleh oleh atha dan jabir.

      J.      Khiyar Dalam Jual Beli[11]
Dalam jual beli khiya khiyar menurut pasal 20 ayat 8  kompilasi hukum ekonomi syariah yaitu pilih lagi penjual dan pembeli untuk melanjutkna atau membantalkan akad jual beli yang lakukan. Khiyar terbagi kepada tiga macam, yaitu: khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar aib:
1.         Khiyar majlis
       Khiyar majlis yaitu tempat transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad selagi mereka berada dalam tempay transaksi dan belim terpisah. Khiyar syarat yaitu : kedua pihak atau salah satunya berhak memberikan persyaratan khiyarc dalam waktu tertentu. Dan khiyar ‘aib yaitu hak pilih untuk  meneruskan ata membatalkan akad di karenaka terdapat cacat pada barang yang mengurangi harganya. Hal ini disyariatkan agar tidak terjadi unsure menzalimi dan menerapkan prinsip jual beli harus suka sama suka (ridha). Dalam jual beli via telepon dan internet berlaku khiyar syarat, dan khiyar ‘aib.
2.         Khiyar syarat
       Khiyar syarat merupakan hak yang disyaratkan oleh seseorang atau kedua belah pihak untuk membatalkan suatu kontrak yang telah diikat. Misalnya pembeli mengatakan pada penjual : “saya beli barang ini dari anda, tetapi saya punyak hak untuk mengembalikan barang ini dalam 3 hari .” begitu periode yang disyaratkan berakhir, maka hak yang untuk membatalkan yang di timbulkan oleh syarat ini tidak berlakumlahi. Sebagai akibat dari hak ini, maka kontrak yang pada awalnya bersifat mengikat menjadi tidak mengikat. Hal untuk syarat untuk memberi syarat jual beli ini membolehkan suatu pihak untuk menunda eksekusi kontrak itu. Tujuan dari hak unyuk memberi kesempatan kepada orang yang menderita kerugian untuk membatalkan kontrak dalam waktu yang telah di tentukan. Ini berupaya untuk pencegahan terhadap kesalahan, cacat barang, ketiadaan pengetahuan kualitas barang, dan kesusaian dengan kualitas yang diinginkan . dengan demikian, hak ini melindungi pihak-pihak yang lemah dari kerugian.
3.         Khiyar ‘aib
       Khiyar ‘aib adalah suatu hak yang diberikan kepada pembeli dalam kontak jual beli untuk membatalkan kontrak jika si pembeli menemukan cacat dalam barang yang telah dibelinya sehingga menurunkan nilai barang itu. Hak ini telah digariskan oleh hukum, dan pihak–pihak yang terlibat tidak boleh melarangnya dalam kontrak kebaikkan dari hak ini,pembeli yang mengunakan cacat pada barang yang dibeli mempunyai hak untuk mengembalikannya kepada penjual, kecuali dia menetahui tentang cacat barang itu sebelum dibelinya.
      K.    Persyaratan dalam jual beli[12]
Berbeda antara syarat jual beli dan persyartan jual beli. Syarat sah jual beli itu ditentukan oleh agama, sedangkan memberikan persyaratan dalam jual beli ditetapkan oleh salah satu pihak pelaku transaksi. Bila syarat sah jual beli dilanggar, maka akad yang dilakukan tidak sah, namun bilamana persyaratan dalam jual beli yang dilanggar, maka akadnya tetap sah hanya saja pihak yang menberikan persyaratan berhak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Hukum asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan mengikat, maka dibolehkan bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah “hai orang-oramh yamh beriman penuhilah akad-akad itu.” Q.S. Al-Mai’dah ayat 1. Dan hadis Rasulullah SAW :”diriwayatkan dari Amr bin Auf “ bahwa Rasulullah bersabda, “orang islam itu terikat dengan persyartan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (H.R. Tirmidzi)
Melihat hadis diatas maka persyaratan dalam jual beli dibagi dua:
1.   Persyaratan yang dibenarkan agama
a.       Persyaratan yang sesuai dengan tuntutan akad. Misalny: seseorang membeli mobil dan mempersyaratkan kepada penjual agar menanggung cacatnya. Jaminan barang bebas dari cacat sudah menjadi kewajiban penjual baik disyaratkan oleh pembeli maupun tidak, akan tetapi persyaratan disini bisa bertujuan sebahi penekanan.
b.      Persyaratan tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli mengajukan dhamin (penjamin atau guarantor) atau barang agunan. Biasanya untuk jual beli ini tidak tinai (kredit). Dan bila mana pembeli terlambat memenuhi ngsuran, maka penjual berhak menuntut penjamin untuk membayar atau berhak menjual barang agunan serta menutupi angsuran dari hasil penjualan barang tersebut.
c.       Persyaratan washafiyah, yaitu pembeli mengajukan persyaratan kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran. Misalnya pembeli mensyaratkan warna mobil yang diinginkannya hijau atau pembayaran tidak tunai.
d.      Persyaratan manfaat pada barang. Misalnya, penjal mobil mensyaratkan memakai mobil tersebut selama satu minggu sejak akad, atau pembeli kain mensyaratkan pemnjual untuk menjahitnya.
e.       Persyaratan taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang bertentangan dengan kewenangan pemilikan. Misalnya, penjual tanah mensyaratkan pembeli untuk tidak menjualnya ke orang lain karena tanah tersebut besebelahan dengan rumahnya dan ia tidak ingin mendapatkan tetangga kurang baik.
f.       Persyaratan akad fi akad, yaitu menggabungkan dua akad dalam satu akad. Misalnya penjual berkat “saya jual mobil ini kepadamu seharga Rp 40 juta dengan syarat anda jual rumah anda kepada saya seharga  Rp 150 juta. Persyaratan ini dibolehkan selama salah satu akadnya bukan akad qardh.
g.      Syarat jaza’I (persyaratan denda atau kausul penalti), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai mengenaaan denda apabila ketentuan akad tidak terpenuhi. Persyaratan ini dibolehkan jika objek-objek akadnya adalah kerja dan bukan harta. Misalnya seseorang menjual mobil secara kredit dan memberikan persyaratan denda keterlambatan pembayaran angsuran kepada pembeli sebanyak 1% dari harga keseluruhan untuk setiap bulan terlambat.
h.      Syarat taliqiyyah. Misalnya, penjual berkata “saya jual mobil ini dengan harga Rp 50 juta jika orang tuaku setuju. Lalu pembeli berkata,”saya terima”. Dan jika orang tuanya maka akad menjadi sah.
2.   Persyaratan yang dilarang agama
a.         Persyaratan yng menggabungkan ad qardh dengan ba’I, misalnya : pak Ahmad meminjam uang kepada pak Halim sebanyak 50 juta dan akan dikembalikan  dalam jumlah yang sama dengan syarat pak Halim menjual mobilnya kepada pak Ahmad dengan harga 30 juta.
       Persyaratan ini hukumnya haram karena merupakan media menuju riba, karena harga mobil pak Halim mungkin lebih mahal dari pada tawaran pak Ahmad, akan tetapi ia merasa sungkan menaikan harga mobil mengingat pinjaman yang akan diberikannya. Rasulullah SAW bersabda: “ tidak dihalalkan menggabungkan akad pinjaman uang dengan akad ba’i. (H.R. Abu Daud)
b.         Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya, seseorang menjual mobilnya dengan syarat kepemilikannya tidak berpindah kepemilikannya kepada pembeli.persyaratan ini bertentangan dengan tujuan akad, karena tujuan akad ba’i adalah perpindahan pemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan dengan adanya persyaratan ini maka akad ba’I menjadi semu. Inilah bentuk-bentuk persyaratan yang tidak dibenarkan dan tidak wajib dipenuhi, berdasarka sabda Nabi SAW “setiap persyaratan yang bertentagan dengan agama Allah tidak sah sekalipun berjumlah seratus persyaratan” (H.R Bukhari Muslim).


BAB III
PENUTUP
Simpulan
Jual beli adalah peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’. Hukum melakukan jual beli adalah boleh. Rukun jual beli ada tiga yaitu, adanya ‘aqid (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaih (barang yang diperjual belikan), dan sighat (ijab qobul). Syaratnya ‘aqid baligh dan berakal, islam bagi pembeli mushaf, dan tidak terpaksa, syarat bagi ma’qud ‘alaih adalah suci atau mungkin disucikan, bermanfaat, dapat diserah terimakan secara cepat atau lambat, milik sendiri, diketahui/dapat dilihat. Syarat sah shighat adalah tidak ada yang membatasi (memisahkan), tidak diselingi kata-kata lain, tidak dita’likkan (digantungkan) dengan hal lain, dan tidak dibatasi waktu. Jual Beli ada tiga macam yaitu, menjual barang yang bisa dilihat hukumnya boleh/sah, menjual barang yang disifati (memesan barang) hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo), menjual barang yang tidak kelihatan Hukumnya tidak boleh/tidak sah.




DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana. 2003
Mardani. fiqh ekonomi syariah: fiqh muammalah. Jakarta: Kencana prenada media group. 2012
Mayang Rosana. Makalah Fiqh Muamalah Tentang Jual Beli Dalam Islam. di kutip pada situs: http://materi-kuliah0420.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-twntang-jual-beli.html/m=1. Diakses pada tanggal 25 april 2018, 20.38 WITA.
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, (Jakarta: KENCANA, 2012)
Suhendi Hendi,  Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26.





[1] Mardani. (fiqh ekonomi syariah: fiqh muammalah. Jakarta: Kencana prenada media group, 2012).  Hlm. 101
[2] Ibid, Mardani. Hlm. 102
[3] Suhendi Hendi,  Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26.
[4] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, (Jakarta: KENCANA, 2012), hlm. 125
[5] Ibid, Mardani. Hlm. 104
[6] Mayang Rosana, Makalh Fiqh Muamalah Tentang Jual Beli Dalam Islam, di kutip pada situs: http://materi-kuliah0420.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-twntang-jual-beli.html/m=1. Diakses pada tanggal 25 april 2018, 20.38 WITA.
[7] Ibid
[8] Ibid. Mardani. Hlm. 108-110
[9] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 201-209.

[10] Ibid. Mardani. Hlm. 105
[11] Ibid. Mardani. Hlm. 105-108
[12] Ibid. Mardani. Hlm. 110-112

0 komentar:

SDGs (INDONESIA MASA DEPAN DENGAN MEWUJUDKAN PERDAMAIAN, KEADILAN, DAN INSTITUSI YANG KUAT)

INDONESIA MASA DEPAN DENGAN MEWUJUDKAN PERDAMAIAN, KEADILAN, DAN INSTITUSI YANG KUAT Oleh : AINUN JARIAH (170202007)-(AS/A) ...

big smile