Translate


MAKALAH LANJUTAN PERIODISASI PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM (TASYRI’ ISLAMI)

MAKALAH
LANJUTAN PERIODISASI PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM (TASYRI’ ISLAMI)


Description: C:\Users\USER\Downloads\SHAREit\SM-G532G\file\logo uin mataram.png

OLEH KELOMPOK IV:
AINUN JARIAH (170202007)
MOH. SAIFUL BAHRI (170202008)
IIS AISYAH (170202019)
DOSEN PENGAMPU: MUHAMMAD NOR, M.HI




TARIKH TASYRI’ JURUSAN AKHWAL AS-SYAKHSIYAH/A FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM 2018
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat dan ridho-Nya,kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Nor, M.SI., selaku dosen pengampu “Tarikh Tasyri’ ” yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
            Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Lanjutan Periodisasi Perkembangan Hukum Islam (Tasyri’ Islami)” Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.


Mataram, 24 Maret 2018

Penyusun 


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I: PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.........................................................................................................4
B.     Rumusan Masalah....................................................................................................4
C.     Tujuan.......................................................................................................................4
BAB II: PEMBAHASAN
A.    Fase Taqlid dan Kejumudan.....................................................................................5
B.     Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh..................................................................................14
BAB III: PENUTUP
            SIMPULAN..................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................19



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
sejak akhir pemerintahan Abbasiyah, mulailah pudar cahaya ijtihad. Para ulama jarang lagi yang berusaha berijtihad, sehingga mengalami kemunduran ijtihad dan berangsur-angsur  taqlid dan kejumudan muncul  dalam umat islam. Para ulama membatasi diri dalam mengikuti cara yang telah dibentangkan oleh para mujtahidin terdahulu. Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkunagan mazhab , hanya terfokus untuk memahami perkataan imam-imamnya saja, tidak lagi memahami nash-nash itu sendiri. Sehingga berhentilah masa tasyri’, bekulah masa pembinaan hukum.[1]
Pada akhir abad ketiga belas, timbullah usaha-usaha reformasi dan melepaskan diri dari taqlid dalam kehidupan umat islam. Usaha ini tidaklah terjadi sekaligus, melainkan berangsur-angsur. Usaha ini muncul setelah ada kesadaran nasional. Kaum muslimin mengetahui dan merasakan adanya kemunduran-kemunduran, yang kemudian menimbbulkan gerakkan-gerakkan keagamaan diberbagai negeri-negeri Islam.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah periodesasi perkembangan hukum islam pada fase Taqlid dan Kejumudan?
2.      Bagaimanakah fase kebangkitan ilmu fiqh?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui periode taqlid, periode kejumudan dan kemunduran
2.      Mengetahui pembahasan fiqh islam dan kodifikasi hukum islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Fase Taqlid Dan Kejumudan
Fase ini berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir abad ketiga belas hijriah. Dikarenkan periode ini mencangkup dua fase yang bertautan, fase pertama masih terkait denagn fase kedua secara langsung maka di sini kami akan menjelaskan periode ini dengan mengupas dua fase ini secara ini secara intensif. Pertama, tentang era taqlid kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan)
1.      Periode taqlid[3]
a.       Asal usul istilah
Periode ini disebut ssebagai periode taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan mazhab yang sudah ada, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali serta mazhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang lain.
b.      Sejarah kemunculan taqlidisme pada masa ini
Menurut ahli tarikh tasyri’, zaman taqlid telah mengarungi tiga atau empat periode dalam sejarah Islam: [4]
Pertama       : Dari abad keempat hijriah sampai jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa   Tartar (pertengahan abad ketujuh Hijriah)
Kedua         : Dari abad keempat Hijriah sampai kesepuluh Hijriah
Ketiga         : Dari abad kesepuluh hijriah sampai pada zaman Muhammad Abduh
Keempar     : Masa yang sedang kita tempuh ini

Siapa pun yang mengamati kejadian dan sejarah islam pada periode ini tentu melihat bahwa faktor yang menyebabkan para fuqaha memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan negara islam terpecah menjadi beberapa negara kecil, di mana setiap negeri mempunyai penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin.
      Dari sini bisa dilihat betapa lemahnya negara Islam ketika sudah terkena penyakit perpecahan menggantikan posisi persaudaraan dan keamanan, negara yang besar tebagi menjadi negara kecil. Di timur ada negara sasan dengan ibu kota Bukhara, dan di Andulusia ada negara kecil yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, demikian juga negara fatimiyah yang ada di utara Afrika.
      Begitulah cerita hancurnya ikatan-ikatan negara Islam, menjadi negeri-negeri kecil yang sanling bermuduhan sehingga memudahkan musuh Islam untuk menghancurkan negara Islam dan terjadilah Perang Salib.
c.       Kondisi fiqh islam di tengah keadaan seperti ini
Jika melihat kondisi sosial politik yang terjadi, sangat tidak mungkin bagi fiqh Islam untuk maju seperti zaman sebelummnya, bahkan fiqh mengalami kemunduran disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1.      Muncullnya pergolakan polotok dalam negara Islam senhingga memberikan efek negatif terhadap perkembangan ilmu oengetahhuan. Pergolakan politik ini menghambat para fuqaha untuk melakukan perjalanan ilmiahdalam rangka mencari ilmu ke berbagai negeri yang sebelumnya perjallanan ini telah memberikan andil yang sangat besar.
2.      Para penguasa yang sibuk dengan urusan politik dan peperangan sehingga kurang memberikan perhatian kepada ilmu dan ulama. Negeri-negeri Islam sangat lemah dari aspek kebebasab berpolitik sehingga mempengaruhi kebebasab berpikir dan membuat syari’at yang merupakan tonggak utama bagi para fuqaha untuk mengembangkan fiqh Islam pada zaman sebelumnya. Padahal spirit kebebasan berpikir inilah yang mendorong Imam Abu Hanifah untuk mengatakan tenatng orang-orang sebelumnya dalam masalah ijtihad dan istinbat “mereka laki-laki dan kita pun laki-laki” dan memotivasi Imam Malik untuk mengatakan “semua orang berhak diterima dan ditolak ucapannya kecuali Rasulullah SAW.”
d.      Para fuqaha pada fase ini
Bagi ornag yang mengamati perjalanan syariat Islam pada fase ini akan mendapati bahwa jiwa kemandirian para duqaha sudah mati dan beralih kepada taqlid, tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan krativitas baru.
      Mereka telah meletakan diri pada ruang yang sangat sempit, yaitu ruang mazhab yang tidak bolrh dilewati apalagi dilompati, semangat hanya sekadar ikut-ikutan (taqlid) terjadi dimana-mana. Padahal para imam mazhab yang mereka ikuti sendiri sudah sering mengingatkan untuk menukilkan pendapat mereka tanpa mengetahui dari mana dasarnya.
      Imam Syafi’i berkata “perumpamaan orang yang memcari ilmu tanpa tahu dalilnya seperti seorang pencari yang membawa seikat kayu dimalam hari dan dalam ikatan kayu itu ada seekor ular kemudian ular itu menggigitnya tanpa disadarinnya.”
      Imam Abu Yusuf seperti yang dinukulkan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim berkata, “tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sehingga ia tahu dari mana kami mengatakannya.”
      Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan meng-istinbat hukum seperti pendahulu meraka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal iti disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’-an meraka sehingga lebih memilih berputar si atas bahtera fiqh yang sudah ada.
      Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al-Hasan Al-Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi, Al-Jashshash dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al-Qurthubi Dari Mazham Maliki, Al-Juwaini Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i
e.       Faktor kemunculan taqlid
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa ada sebagian fuqaha yang memiliki kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja mereka berpaling dari kemandirian berpikir dan tidak mau membuat mazhab baru , serta merasa sudah cukuo dengan mazhab yang ada. Kemudian mereka pun ber-taqlid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab. Adapun sebab terjadinya taqlid, di antaranya sebagai berikut:
1)      Pembukuan kitab mazhab
Sudah kita bahas ketika membicarakan tentang kebangkitan fiqh Islam pada fase kematangan dan kesempurnaan serta penulisan, bahwa fiqh islam sudah di tulis dan di jadikan rujukan dalam menjawab persoalaan yang dihadapi mesyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Dan dari penjelasan itu juga kita tahu bahwa yang mendorong para ulama untuk berijtihad pada zaman itu karena ingin mengetahui hukum dari sebuah ,asalah yang bsru muncul di tengah masyarakat yangbelum ada hukumnya. Maka ketika para ulama mujtahid terdahulu sudah menulisya kemudian datanglah para ulama pada periode ini dan mendapatkan segalanya sudah tersedia dan lengkap sehingga tidak ada lagi hajat untuk mencari kembali, semua mazhab sudah menyediakan hidangan fiqhnya.
2)      Fanatisme mazhab
Para ulama pada periode ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan kebenaran semuannya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama  Hanafiyah, bahkan  ada yang berani mengatakan. “setiap ayat yang bertenatangan dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi saw. inilah bentuk pemikiran  yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari ijtihad. Sebab, jika ia sudah meyakini sebuah doktrin, berlabuh dalam lautannya, berdiri tegak tidak mau beranjak, segala keputusan ada padanya, dan pada akhirnya inilah bentuk sebuah kejumudan (kebuntuan) berpikir.
3)      Jabatan hakim
Pada khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mampu dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw serta memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus berdasarkan kepada Al-Qur’an, sunnah Rasulnya,dan logika yang dekat dengan kebenaran. Buktinya, surat yang ditulis oleh umar bin khathab kepada hakimnya, Abu musa Al- Asya’ri, ia berkata kepadanya, “jabatan hakim itu adalah sebuah kewajiban yang sudah ditetapkan dan warisan yang diikuti, maka pahami dan  pahami setiap masalah yang di sampaikan kepadamu yang tidak ada dalam Al-qur’an dan sunnah, kemudian tetapkannlah yang ada kemiripan, dan carilah yang sepadan, kemudian peganglah yang kamu lihat lebih dicintai Allah dan lebih dekat kebenarannya.”namun, ketika kondisi sosial sudah berubah bersama dengan pergeseran waktu, para khalifah pun lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa ber-taqlid, ikut pada pendapat mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.”
4)      Ditutupnya pintu ijtihad
Petaka besaar menimpa fiqh Islam pada periode ini dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadao kaidah dan dalil-dalil fiqh yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka yang mengkalim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap fiqh Islam sehingga menjadi jumud dan ketingalan zaman. Seharisnya, para fuqaha periode ini meletakkan beberapa aturan  yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan tersebut. Salah satunnya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan, niscaya mereka telah memberikan konrtibusi positif terhadap perkembangan fiqh Islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.
f.       Kontribusi para ulama dan fuqaha pada fase taqlid
Setelah menjelaskan berbagai penyebab terjadinya taqlid sepanjang fase ini lebih lanjut berakibat pada kemunduran dan kekakuan fiqh islam, maka perlu kami jelaskan beberapa upaya dan konstribusi yang sudah dilakukan oleh para ulama untuk mengembangkan fiqh islam pada periode ini. Dengan begitu kita tidak menjalimi karya fiqh mereka yang berputar di sekeliling mazhab-mazhab yang ada, walaupun upaya ini tidak sampai melahirkan mazhab baru yang memiliki prinsip sendiri seperti yang pernah dilakukan oleh pendahulunya. Dan upaya mereka hanya sebatas memperluas pemahaman mazhab yang diikuti mereka, sebuah khidmat yang patut disyukuri sehingga membuat kajian fiqh mazhab semakin dalam dan terinci, luas dan sistemmatik.
      Bagi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini, dapat membuat kesimpulan bahwa bentuk khidma atau upaya itu terhimpun dalam beberapa hal sebbagai berikut.

1)      Ta’lil (Rasionalisasi Hukum-Hukum Fiqh)
Pada zaman ini para ulama menemukan banyak sekali khazanah fiqh yang diwariskan oleh generasi sebelumnya, namun mayoritas warisan fiqh ini masih belum menyebutkan illat-nya (hikmah atau alasannya). Kemudian, masing-masing fuqaha mazhab mengkaji, berijtihad, dan mengistinbath illat hukum fiqh yang diwariskan oleh imamnya. Melalui cara ini mereka bisa menentukan hukum bagi masalah baru yang tidak sempat dibahas oleh para imam sebelumnya.
     Mereka menambah hukum-hukm syar’i baru tersebut kedalam fiqh mazhab yang tidak terdapaat di dalamnya nash imam mazhab, kemudian hasil kajian ini dinisbatkan kepada pendapat mazhab karena dasarnya diambil dari fiqh mazhab.
     Tentu ini sebuah hasil ijtihad dari mereka namun bukan sebuah ijtihad mutlak. Ini merupakan ijtihad khusus yang berputar disekitar mazhab-mazhab tertentu, yaitu apa yang dinamakan ushul takhrij dan mereka dinamakan ulama takhrij.
2)      Tarjih
Para fuqaha periode ini mempunyai jasa yang besar dalam mentarjih (menguatkan) antara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam mazhab yang diriwayatkan dari imam mazhab dan tarjih ini terdiri dari dua jenis. Pertama, tarjih dari aspek riwayat dan kedua, dari aspek dirayah.
a)      Tarjih dari aspek riwayat
Nukilan pendapat dari seorang imam mazhab dalam satu masalah tertentu terkadang berbeda-beda, seperti nukilan pendapat lebih dari satu dalam satu masalah. Hal ini disebabkan oleh:
a.       Keasalhan dalam nukilan;
b.      Terkadang seorang imam memberi fatwa dalam satu maslah, kemudian ia menarik kembali pendapatnya ketika ada dalil yang lebih kuat. Kemidian salah seorang muridnya mengutip pendapat yang kedua karena ia tahu imamnya sudah meninggalkan pendapat yang pertama, sedangkan murid yang lain masih menukilkan pemdapat pertama karena ia tidak tahu jika imamnya sudah tidak menggunakannya.

Dari dini, terjadilah perbedaan penukilan pendapat dari para imam mazhab tentang beberapa masalah.
Bisa jadi para periwayatnya adalah ulama yang terkenal dengan kuatnya hafalan dan teliti, tetapi ada juga yang tidak sekelas dengan mereka dalam tingkat hafalan dan ketelitian. Usaha yang dilakukan para fuqaha adalah men-tarjih (menguatkan) salah satu riwayar berdasarkan pada perawi yang paling banyak hafalam.
b)      Tarjih dengan dirayah
Yaitu melakukan komparasi antar pendapat-pendapat mazhab dari sang imam atau dari muridnya dalam suatu masalah tertentu. Dan jenis tarjih ini sangat tergantung kepada skill fiqh, pemahaman, dan kemampuan beristinbat serta pemahaman yang sempurna tentanh kaifah dan penjabaran syariah.
           Usaha yang di lakukan oleh para fuqaha adalah mentarjih sesuai dengan dalil yang sejalan dengan kaudah-kaidah dasar syariat islam dan bisa jadi mereka juga berbeda-beda dalam mentarjih sesuai dengan kapasitas dan kualitas ilmu mereka, termasuk karena adanya perbedaan dalam menyalami masalah ushul dan furu’.
3)      Upaya Pembelaan Mazhab dan Penulisan Fiqh Perbandingan
Seperti yang sudah kami jelaskan diatas , betapa debat dan diskudi ilmiah di antara para ulama telah memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan secara umum dan fiqh islam khususnya. Ini terjadi ketika debat dan diskusi bertujuan untuk mencari kebenaran dan inilah yang terjadi pada zaman imam-imam mazhab.
     Akan tetapi, fiqh pada fase ini telah berubah haluan. Masing-masing fuqaha mazhab sibuk memperjuangkan mazhabnya sendiri dengan menempuh dua cara sebagai berikut:
a.       Menulis buku tentang keutamaan imam
Masing-masing pihak menulis buku tentang kelebihan yang dimiliki oleh sang imam dalam bentuk syair dan prosa yang disebarkkan kepada masyarakat umum dengan harapan agar mereka memberikan loyalitas kepada imamnya. Penulisan ini tidak hanya terbatas kepada fuqaha satu mazhab, namun juga dilakukan oleh semua pengikut mazhab.
b.      Penulisan kitab-kitab fiqh perbandingan
Hal ini mencakup semua masalah khilafiyah di antara para fuqaha mazhab dengan metode sebagi berikut.
a.       Menyebutkan satu masalah dan hukumnya pada setiap mazhab
b.      Menyebutkan dalil hukumnya dari setiap imam
c.       Kemudian membandingkan semua dalil yang ada dan lalu mentarjih dalil mazhab mereka apa pun kondisinya. Upaya ini kemudian dinamakan denngan penulisan kitab fiqh komparasi.
Tentu usaha ini sangat baik dan dapat membantu kita untuk memahami pendapat yang kuat secara pasti, jika memang bertujuan mencari kebenaran tanpa ada rasa fanatik mazhab yang terkadang diiringi rasa benci dengan pihak lain. Akan tetapi, pada kenyataannya hal ini sangat berbeda sekali, yang tampak bagi para penulis kitab sejarah tasyri’ Islam pada zaman ini adalah rasa fanatik dan ingin memenangkan mazhab sendiri.
Mereka berdalil bahwa perbuatan ini mengandung unsur berlebih-lebihan dan sangat terlihat pada banyak masalah yang dikaji dalam fiqh mazhab.
Dan terkadang mereka terbawa perasaan saling menghujjat dan melampaui batas, suatu kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi di antara imam mazhab itu sendiri, yaitu kompetisi ilmiah yang mulia untuk mencari kebenaran tanpa fanatik dan berlebih-lebihan, yang mereka lakukan sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh  para sahabat dan tabi’in.
g.      Nilai positif fase taqlid
Demi keadilan, walau zaman ini  penuh dengan hal-hal yang kurang baik seperti yang sudah kami jelaskan, namun perlu juga kami jelaskan sisi baiknya. Para ulama pada periode ini memiliki jasa yang besar dalam menyempurnakan fiqh lazhab karena mereka berhasil menggali illat-illat hukum, men-tarjih pendapat yang kuat, dan menuliskan semuanya dalam kitab-kitab fiqh yang menjadi rujukan bagi mereka yang datang setelah itu.

2.      Periodde Kejumudan dan Kemunduran[5]
Periode ini di mulai sejak tahun 656 hijriah, ketika kota Bagdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas.
a.       Kondisi Fiqh Pada Masa Ini
Pada era ini kondisi perjalanan fiqh Islam sangat buruk. Padahal periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh islam, mengalami kemunduran dan jumud. Jika di zaman generasi pertama kita bisa melihat para fuqaha yang sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya sedah beralih profesi menjadi taqlid buta. Padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pndahulunaya.
      Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat.
      Akibatnya,apa yang mereka hasilkan berbeda sekali dengan hasil karya para \pendahulu. Jika para pendahulu membuat uraian, ta’lil hukum, men-tarjih pendapat yang kuat dan memiih pendapat yang ditopang oleh dalil, namun pada masa ini adalah semuanya serba ringkas dan terbatas. Tujauan para fuqaha pada masa ini adalah mewujudkan dua hal; pertama, agar masyarakat mudah memahami masalah fiqh. Kedua, memudahkan para pelajar menghafal kandungan fiqh mazhab dan menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi sedikit.
b.      Kontribusi Fuqaha pada Periode Ini
Usaha yang dilakukan para fuqaha pada periode ini akan terlihat pada beberapa hal sebagi berikut.
1)      Penulisan Matan (teks)
Yaitu tulisan ringkas. Penulisan Matan menjadi tren sepanjang periode ini, bahkan menjadi konsentrasi fuqaha, sehingga ada ynga mengatakan, “siapa yang menghafal matan, maka ia akan mendapat banyak ilmu”
Jenis penulisan seperti ini belum muncul kecuali pada fase kedua dari periode ini, menjadi hobi para fuqaha sampai kepada tingkat rumus-rumus tertentu.
2)      Penulisan ayarh (penjelasan), hasyiyah (catatan pinggir), dan ta’liq (komentar)
Untuk memeahami makna sebuah matan, diperlukan adanya syarh yang bisa menjelaskan maksud dari teks tersebut dan tekadang penjelasan tidak cukup sehingga perlu ada catatan kaki yang bisa mengurai kalimat-kalimat yang asing dan dapat menjadi catatan ini pun belum cukup sehingga perlu ada ulasan tersendiri.
Tentu cara ini belum dapat mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada pelajar  dengan mudah, perlu usaha gigih untuk memahami metode yang penuh dengan rumus dan menghabiskan stamina, dan waktu para pelajar hanya untuk memecahkan susunan bahasanya.
Metode ini banyak menghabiskan waktu, menjaukan para penimba ilmu fiqh dari kitab-kitab yang sebenarnya sangat bermutu yang pernah ditulis para fuqaha pada zaman ulama mazhab pada fase pertama dan periode ini.
c.       Dampak Kejumudan Ini Terhadap Fiqh Islam
Kujumudan yang menimpa fiqh Islam sepanjang perjalanan periode ini telah memberikan dampak sebagai berikiu:
1.      Ketidakberdayaan fiqh Islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul.
2.      Jalan menjadi terpecah di depan para pengkaji ilmu fiqh disebabkan banyak karya-karya yang sulit untuk dipahami, dan adanya aturan-aturan fiqh mazhab sehingga membuat para pelajar tidak mampu untuk menunjukkan kemampuan mereka sendiri, yang pada akhirnya tidak ada pembaharuan dan penemuan baru.
3.      Masyarakat dan para penguasa sebagian negeri islam menjadi berpaling dari fiqh Islam memakai konsep undang-undang konvesional sebagai rujukan dalam urusan pribadi, termasuk juga urusan pemerintahan. Dengan demikian, syariat islam menjauh dari kehidupan, padahal sebelumnya islam menjadi sumber perundangan.
d.      Kelahiran para Mujaddid (pembaru)
Allah swt tidak berkehendak membiarkan umat ini larut dalam kemelut hidup yang berkepanjangan, lalu muncullah bintang bersinar di malam hari yang gelap gulita memberikan cahaya kepada umat manusia, menghapus taqlid, dan mengajak untuk berijtihad dan beristinbat dari sumber-sumber fiqh islam
      Diantara para mujaddid yang lahir pada periode ini adalah:
1.      Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah yang bergelar Taqiyuddin (wafat 728 H)
2.      Muridnya Imam Abu Muhammad bin Abi Bakar Syamsuddin bin Al-Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H)
Keduannya adalah ulama yang paling terkemuka dalam mazhab Hanabilah, sangat berjasa dalam membangun mazhab Hanabilah dan menyeru kepada ijtihad, mencela taqlid, dan mengajak kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabawiyah.
e.       Sumbangsih dan karya tulis ilmiah para ulama dan fuqaha pada periode ini
1)      Kitab-kitab Himpunan Fatwa
Kitab-kitab ini menghimpun fatwa para ulama di zamannya, tepatnya para ulama yang sudah mencapai derajad ijtihad lalu duberi kedudukan sebagai mufti secara resmi, kemudian pendapatnya ditulis dalam buku yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh.
            Sebagai contoh adalah kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah yang dikenal dengan nama Fatwa Malakiyah yang ditulis oleh beberapa ulama asal India atau atas perintah Sultan Bahadir, seorang ulama besar
            Metode fatwa yang digunakan adalah tanya-jawab sambil menyebutkan nash-nash fiqh sebagi landasannya.
2)      Kitab himpunan kaidah fiqh
Diantara kitab-kitab fiqh yang ditulis pada zaman ini adalah kitab qawaid fiqhiyah yang membahas tentang kaidah-kaidah umum dalam fiqh islam, mengumpulkan dan membahasnya, menyatukan yang serupa dan kemiripan dari cabang-cabang fiqh yang berada di bawah setiap kaidah dari kaidah-kaidah yang ada.
f.       Faktor kemunduran fiqh pada periode ini
Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini, diantaranya sebagi berikut:
1.      Pergolakkan politik dalam tubuh negara Islam, musuh menguasai kaum muslimin dan orang asing menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Hal tersebut menyebabkan negara Islam menjadi lemah, yang berdampak pada lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan dan di antaranya adalah fiqh Islam.
2.      Pada zaman ini para fuqaha yang lebih memperhatikan warisan fiqh mazhab dan mengajak masyarakat untuk mengikutinya, berfanatik, dan menghujat orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka
3.      Para fuqaha membatasi ruang geraknya dan tidak mau berijtihad seperti yang sudah kami jelaskan sebelumnya
4.      Munculnya beberapa buku yang sarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan, sehingga masyarakat melupakan buku-buku warisan yang perlu sangat berharga, gaya bahasanya mudah dipahami dan penjelasannya mudah untuk dicerna.



B.       Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh
Fase ini dimulai dari akhir abad ketiga belas hijriah sampai pada hari ini. Oleh karena itu, fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain; dapat mennghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi saham dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh islam, dan kedua, kodifikasi fiqh islam.
1.      Pembahasan Fiqh Islam[6]
Pada zaman ini para ulama memberikan  perhatian yang sangat besar terhadap fiqh islam , baik dengan cara menulis buku maupun  mengkaji sehingga fiqh Islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama, menjauhi metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan konsep ilmaih dengan kajian yang mendalam dan terfokus. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqh Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat kita rincikan sebagai berikut:
a.       Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya. Para penguasa pada zaman ini berpegang pada mazhab tertentu dan bertaqlid dan qadha, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir, ketika mereka membatasi kurikulum di Al-Azhar hanya dengan mazhab syiah. Atau seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka membatasinya dengan salah satu mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah. Begitulah mayoritas penguasa di negeri-negeri islam, yang sudah tentu berdampak pada kejahilan terhadap pendapat-pendapat fiqh yang ada dalma mazhab lain. Pada zaman ini kaum muslimin sudah bebas dari masalah ini, kajian-kajian keislaman dilaksanakan di sekolah-sekolah dan kampus secara integral dan terbuka kepada semua mazhab ditambah dengan pembahasan pendapat-pendapat yang sebelumnya belum ada disebabkan belum sempat menulis atau karena minimnya pengikut pendapat itu. Tentulah hal ini membuka mata para pelajar betapa banyak warna-warni yang ada dalam masa khazanah fiqh sehingga dapat memotivasi mereka untuk menambah wawasan keilmuan mereka.
b.      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik. Pembahasan fiqh pada periode yang lalu bersifat ringkas, lafal yang penuh simbol dan rumus yang memerlukan waktu banyak untuk memahaminya. Pada zaman ini, kajian sudah beralih kepada pokok masalah berkat kajian terhadap terhadap kitab-kitab fiqh klasik yang tidak memuat  rumus dan kejumudan selain karena jasa para penulis mutakhir yang menggunakan metodologi ilmiah dalam penulisan mereka.
c.       Memberikan perhatian khusus terhadap fiqh kompaarasi, para peneliti fiqh di zaman ini memberikan perhatian khusus dengan bentuk kajian fiqh komparasi. Terkadang antara sesama mazhab fiqh Islam dalam satu masalah tertentu dan terkadang antara mazhab Islam  dengan undang-undang konvensional dengan tetap menjadikan kekuatan dalil sebagai kata kahirnya. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu dapat memunculkan teori-teori umum dalam fiqh islam dan menghasilkan teori baru seperti teori akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proposional sserta yang lainnyayang bisa kita lihat dalam hasil karya ilmiah. Selain itu, para peneliti fiqh islam juga berhasil memunculkan mutiara makna dan rahasia yang tersimpan dalam perundang-undangan Islam. Hasilnya, fiqh Islam dapat lahir dengan tampilan yang menarik, detail, komprehensif, dan mampu mengimbangi segala persamaan yang muncul.
d.      Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh. Di antara indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini adalah didirikannya beberapa lembaga kajian di berbagai negeri Islam dan terbitnya beberapa ensiklopedia fiqh.
Para ulama dalam lembaga ini menghimpun semua masalah dengan metode yang sama, yaitu menukilkan pendapat mazhab dengan gaya bahasa yang lugas, ringkas tanpa men-tarjih pendapat tertentu, dan biasanya kajian berkisar tentang masalah-masalah fiqh sesuai dengan huruf abjad.
2.      Kodifikasi Hukum Fiqh[7]
Yang dimaksud dengan kodifikasi (taqnin) adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelea\saikan perselisihhan.
Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut:
Pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi putusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.
a.       Permulaan kodifikasi
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu yang baru terjadi pada zaman ini. Upaya tersebut sudah muncul sejak awal abad kedua hijriah ketika Ibnu Muqqafa’menulis surat kepada khalifah Abu Ja’far Al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari Al-Qur’an dan sunnah. Dann ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat. Ketiak beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam stu masalah, ia berkata, “Di antara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari urusan dua orang mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan, memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara menulis sebuah pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti dan benar”
Usulan Ibnu Muqqafa’ ini tidak mendapat sambutan pada saat itu karena para fuqaha enggan untuk memikkul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri sudah memberikan peringatan kepada murid-murid mereka  agar mrnjauhi fanatisme mazhab.
Mereka merasa cemas dan masih raagu-ragu jika saja ijtihad ini salah karena yang mereka lakukan bukan membuat sebuah produk undang-undang buatan manusia, namun mereka sedang berhadapan dengan syariat yang turun dari langit.
Usaha yang sama juga pernah dilakukan oleh Imam Malik ketika ia melaksanakan haji pada tahun 148 hijriah dan diminta untuk menyeru masyarakat mengamalkan mazhabnya. Akan tetapi, sang imam tidak mau dan berkata “wahai Amirul mukminin, setiap kaum ada pendahulu dan imamnya sendiri maka barang siapa yang melihat keputusan para pendahulunya sesuai dengan keadaannya maka hendaklah ia melaksanakan hal itu.”
Sang khalifah memahami apa yang disampaikann oleh Imam Malik, atau hanya berpura-pura setuju, namun ia menawarkannya kembali pada tahun 163 hijriah. Akan tetapi, sang imam tetap tidak menyeru umat ubtuk mengikuti mazhabnya dan tetap pada pendiriannya.
Dan pada abad kesebelah hijriah, sultan Muhammad Alimgher (1038-1118 M.), seorang raja india, membentuk sebuah lembaga yang terdiri dari ulama-ulama kondang di India di bawah pimpinan syaikh Nizham untuk menulis sebuah buku yang memuat semua riwaya-riwayat yang sudah disepakati dalam mazhan Hanafi, kemudian mereka menuliskannya dalam sebuah buku yang dikenal dengan nama Al-Fatawah Al-Hindiyah.
Meskipun demikian, upaya ini belum secara resmi dan bersifat mengikat bagi semua mufti atau hakim, sebagaimana corak penulisan dan pembuatan bab belum seperti sebuah materi undang-undang dan hanya bersifat himpunan pendapat fiqh yang masih diperdebatkan, kemudian lembaga ini memilih salah satunya.
Semua upaya dan usaha baik ini belum bisa dikatakan sebuah bentuk kodifikasi fiqh Islam dengan makna yang sempurna seperti yang sudah kami jelaskan sebelumnya.
b.      Titik Tolak Kodifikasi (Majjalah Al-Ahkam Al-‘Adliyyah)
Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah kodifikasi terhadap   fiqh Islam betul-betul dapat terwujud di Turki ketika muncul Majjalah Al-Ahkam Al-‘Adliyah (Semacam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pada masa Dinasti Usmaniyah yang berangkat dari keinginan Imperium ini untuk mengacukan seluruh undang-undang sipil yang berlaku bagi umat Islam di bawah pemerintahannya pada mazhab Imam Abu Hanifah sebagai mazhab resmi negara.  Kitab kodifikasi hukum  islam ini disusun olwh fuqaha kondang dibawah pimpinan Ahmad Jaudat Basya. Direktur Diwan Al-Ahkam Al-‘Adliyah.
      Lembaga ini muali bekerja pada tahun 1286 H dan terus bekerja sampai tahun 1292 H. setelah bekerja selama tujuh tahun maka lahirlah sebuah karya agung yang diberi nama Majallah Al-Ahkam Al-‘Adliyah (yang kemudian terkenal dengan istilah Al-Majallah atau Majelle).
      Pada bulan Sya’ban 1292, Sultan mengeluarkan surat perintah unruk menerapkan ini kompilasi ini dalam semuapengadilan Turki dan semua negara yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Turki Usmaniyah.
c.       Kandungan Al-Majallha Al-‘Adliyah
Kitab komilasi hukum Islam Turki Usmaniyah ini memuat 1815 pasal yang membahas berbagai hukum terhadap berbagai permasalahan yang masih diperdebatkan dalam membangun hubungan sosial Islam yang terdiri dari enam  belas bab,dimulai dari bab jual-beli danberakhir dengan bab tuntutan dan keputusan hakim.
     Adapun yang menjadi catatan dari kompilasi ini adalah tidak ada konsistensi untuk bepegang kepada pendapat yang rajih (kuat) dalam mazhab Hanafi dan terkadang mengambil pendapat yang marjuh  (dikuatkan) untuk memberi kemuddahan kepada masyarakat dan demi kemaslahatan bersama dan di antara kekurangannya ia tidak membahas tentang al-ahwal asy-syakhsiyah.




BAB III
PENUTUP

SIMPULAN

 Periode taqlid disebut sebagai periode taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan mazhab yang sudah ada, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali serta mazhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang lain. Faktor kemunculan taqlid adalah: Pembukuan kitab mazhab, Fanatisme mazhab, Jabatan hakim, Ditutupnya pintu ijtihad
Periodde Kejumudan dan Kemunduran: Periode ini di mulai sejak tahun 656 hijriah, ketika kota Bagdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas. Mereka melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat.
Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh dimulai dari akhir abad ketiga belas hijriah sampai pada hari ini. Oleh  karena itu, fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain; dapat mennghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi saham dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu. Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh islam, dan kedua, kodifikasi fiqh islam.
  


DAFTAR PUSTAKA

Khalil, Rasyad Hasan. 2015. Tarikh Tsyri’. Jakarta: AMZAH.
Uman, Khairul. 2001. Ushul Fiqh II. Bndung: CV. Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi.1967. Pengantar Ilmu Fiqh. Yogyakarta: CV MULYA



[1] Hasbi Ash-Shiddieqy. Pengantar Ilmu Fiqh. (yogyakarta: C.VV MULYA, 1967). Hlm. 78
[2] Ibid. Hasbi. Hlm. 85
[3]  Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’. (Jakarta: AMZAH,2015). Hlm. 117-126
[4] Khairul Uman. Ushul Fiqh II. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001). Hlm. 159
[5] Ibid. Rasyad. Hlm. 126-131
[6] Ibid. Rasyad. Hlm. 131-134
[7] Ibid. Rasyad. Hlm. 134-137

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sports Betting - Mapyro
Bet deccasino the moneyline from https://sol.edu.kg/ 1:25 PM gri-go.com to 11:00 PM. 메이피로출장마사지 See more. ventureberg.com/ MapYO Sportsbook features live odds, live streaming, and detailed information.

SDGs (INDONESIA MASA DEPAN DENGAN MEWUJUDKAN PERDAMAIAN, KEADILAN, DAN INSTITUSI YANG KUAT)

INDONESIA MASA DEPAN DENGAN MEWUJUDKAN PERDAMAIAN, KEADILAN, DAN INSTITUSI YANG KUAT Oleh : AINUN JARIAH (170202007)-(AS/A) ...

big smile