MAKALAH
LATAR BELAKANG
MUNCULNYA TERM PERADILAN DALAM ISLAM
OLEH:
AINUN JARIAH
(170202007)
ELLA MIANTI (170202010)
DOSEN PENGAMPU: NUNUNG
SUSFITA, M.S.I
PENGANTAR PERADILAN
ISLAM JURUSAN AKHWAL AS-SYAKHSIYYAH, FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MATARAM 2018
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat
dan ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat dan ridho-Nya,kami tidak dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Nunung Susfita, M.S.I., selaku dosen
pengampu “Pengantar peradilan islam” yang membimbing kami dalam pengerjaan
tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada teman-teman kami yang selalu
setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah
ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Latar Belakang Munculnya Term
Peradilan dalam Islam” Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan
yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari
teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.
Mataram, 12 Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................2
DAFTAR
ISI........................................................................................................................................3
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................4
C. Tujuan.................................................................................................................................4
D. Kerangka teori....................................................................................................................5
BAB II: PEMBAHASAN
A. Peradilan pra
islam.............................................................................................................6
B. Peradilan pra Rasulullah.....................................................................................................8
C. Peradilan masa
Rasulullah................................................................................................11
D. Peradilan masa khulafauraasyidin....................................................................................14
E. Peradilan masa Bani
Umayyah.........................................................................................17
F. Peradilan masa Bani
Abbas..............................................................................................19
G. Tujuan peradilan dalam
islam..........................................................................................20
BAB III: ANALISIS
PEMAKALAH................................................................................................22
BAB IV: PENUTUP
SIMPULAN........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan
lembaga peradilan sudah dikenal sejak zaman sebelum Islam datang, kehadiran
Islam tentunya memberikan warna tersendiri terhadap keberadaan peradilan itu
sendiri, ini disebabkan karena Islam mempunyai pedoman tersendiri dalam
menyelenggarakan peradilannya, akan tetapi bukannya Islam tidak menghiraukan
situasi dan kondisi yang dialami masyarakat yang dihadapi saat itu, sehingga
peradilan yang diselenggarakan oleh pemerintahan Islam juga tidak dianggap
kaku. Ini terlihat dari perkembangan peradilan Islam yang dilalui dari masa ke
masa, mulai dari peradilan masa pra islam , pra Rasulullah saw, masa Rasulullah,
masa sahabat, Bani Umayyah, hingga Bani Abbas
Untuk
menegetahui bagaimana latar belakang dari munculnya term pradilan marilah kita
menyimak penjelasan dalam makalah ini
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah
peradilan pada masa pra islam?
2. Bagaimanakah sejarah
peradilan pada masa pra Rasulullah?
3. Bagaimanakah sejarah
peradilan islam pada masa Nabi SAW?
4. Bagaimanakah peradilan
pada masa khulafaurrasyidin?
5. Bagaimanakah peradilan
pada masa Bani Umayyah?
6. Bagaimanakah peradilan
pada masa Bani Abbas?
7. Apakah tujuan dari
peradilan dalam islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah peradilan pada masa pra islam
2. Mengetahui sejarah
peradilan pada masa pra Rasulullah
3. Mengetahui sejarah peradilan islam pada masa Nabi SAW
4. Mengetahui peradilan
pada masa khulafaurrasyidin
5. Mengetahui peradilan
pada masa Bani Umayyah
6. Mengetahui peradilan
pada masa Bani Abbas
7. Memahami tujuan dari
peradilan dalam Islam
D. Kerangka Teori
وَأَنِ اَحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ
Artinya: “Dan
putuskanlah hukum diantara mereka dengan apa yang telah di turunkan oleh
Allah.” (Q.S. Al-Ma’idah (5): 49)
وَتَّبِعْ مَايُوْحَى الَيْكَ
وَاصْبِرْحَتَّى يَحْكُمَ اللهُ وَهُوَ خَيْرُ
الحَكِمِيْنَ
Arrtinya: “Dan ikutilah apa yang di wahyukan kepadamu, dan bersabarlah
hingga Allah memberi keputusan. Dialah hakim yang terbaik.” (Q.S. Yunus
(10):109)
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا
قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka dari Tuhanmu, mereka itu
(hakekatnya) tidak beriman, sehingga mereka mau menjadikan kamu sebagai hakim
terhadap perjara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya” (Q.S.
An-Nisa ayat 65)
“Dari Jabir katanya :
Saya dengar Rasulullah saw bersabda : Tidak (dinilai) bersih suatu masyarakat
dimana hak orang yang lemah diambil oleh yang kuat (H.R. Ibnu Hiban)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah peradilan pra
islam
1.
Zaman nabi Adam AS
Pada masa Nabi Adam As, baik saat di surga atau seteliau beliau dan Siti
Hawa turun ke bumi proses peradilannya lansung serta merta dari Allah SWT. hal ini
dapat diketahui dari peristiwa pemakanan buah huldi yang kemudian berakibat
pula bagi syaitan dengan imbalan kekekalan di neraka.
Pada masa nabi Adam a.s. pernah terjadi pertikain antara kedua anaknya yang
bernama Qabil dan Habil, dimana Nabi
Adam yang menjadi hakim dalam penyelesaiannya. Hanya saja bentuk peradilan pada
masa tersebut belum dapat dikatakan peradilan seperti yang di kenal sekarang,
karena pada saat itu belum dikenal yang mananya hakim dan tugas-tugasnya serta
perundang-undangannya.[1]
2. Zaman Nabi Daud as dan
Nabi Sulaiman as.[2]
Hakim pertama sekali yang disebut dalam sejarah kemanusiaan adalah Nabi
Daud as dan Nabi Sulaiman as. Pada masa mereka dijelaskan bahwa seorang hakim
harus mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak sebelum memutuskan perkara
dan harus memisahkan para saksi untuk mendengarkan pendapat mereka. Kedua nabi
tersebut masing-maing diuji oleh Allah SWT. Sebagai bukti bahwa tidak sembarang
orang yang menjadi hakim.
Sebelum memilih Nabi Daud as. Menjadi hakim. Allah menguji mereka dengan
menurunkan dua malaikat yang menyeruapai manusia. Keduanya datang saling
berselisih dan meminta keadilan kepada Nabi Daud as. Salah satunya berkata,
saudara saya ini memiliki 99 ekor kambing betina dan saya memiliki seekor saja. Tapi ketamakkannnya
menjadikan ia terkalahkan oleh hawa nafsunya. Lalu ia meminta satu-satunya
kambing yang saya miliki. Tapi saya menolak permintaannya, dan saya jelaskan
penolakkan penyerahan kambing yang saya miliki. Saya jelaskan kepadanya perbedaan antara, kekayaan ia dan
kemiskinan yang menimpa saya. Namun, rekayasanya lebih besar sehingga ia
mengalahkan saya dengan kehebatan debatnya sehingga menjadikan saya harus
menerima alasannya. Sungguh ia orang yang paling lancar bicaranya, paling kuat
debatnya dan paling kaya penjelasannya. Nabi Daud as. melihat bahwa alasan yang
dimiliki orang kedua akan berdampak pada kezaliman, maka Nabi Daud as. segera
menetapkan putusan dengan mengatakan "Sesungguhnya ia telah berbuat
zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada
kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zalim kepada yang lainnya, kecuali orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan amat sedikitlah mereka ini"
Kemudian orang kedua memandang
Nabi Daud as dan mengatakan bahwa ini keputusan yang zalim, engkau tidak adil
bagaimana engkau memutuskan persengketaan dengan hanya mendengar satu pihak
saja. Nabi Dawudpun mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala sedang
mengujinya, maka dia meminta ampun kepada-Nya seraya bersungkur sujud dan
bertaubat Kemudian dia merenung, merasa takut, dan jiwanya gelisah, sehingga
dia mengetahui kelengahan yang diperbuatnya.
Semua itu dikarenakan
pandangan kedua orang tersebut mengapa dia tergesa-gesa dalam memberikan
keputusan? Dan dia meyakini ia telah melakukan tindakan yang tidak tepat, dan
menetapkan suatu hukum tanpa kecermatan, tapi hanya berpedoman kepada apa yang
tampak pertama kali Lalu, ia bertanya sebenarnya siapa kedua orang tadi?
Kemudian Nabi Dawud mengetahui bahwa kedua orang tersebut adalah malaikat yang
diutus Allah SWT untuk menguji Nabi Dawud a.s. kemudian ia bertaubat dan Allah
SWT mengampuninya. Lalu turunlah wahyu yang berbunyi: "Hai Daud. as.,
sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka. berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dan jalan Allah Swt.".
Itulah peristiwanya yang kemudian dijelaskan Allah Swt. Dalam surat Shad (38):
17-26.
Adapun Nabi Sulaiman
a.s. yang hidup dalam didikan ayahnya yaitu Nabi Daud dan memiliki kecerdasan
dan pemahaman yang baik yang dianugerahkan Allah SWT sejak kecil. Nabi Sulaiman
dalam menyelesaikan masalah (perkara tanaman)
Awalnya perkara ini
disampaikan kepada Nabi Daud as. tentang dua orang yang bersengketa. Orang
pertama berkata: "Wahai Nabi sesungguhnya. saya memiliki tanaman yang
sedang berbuah dan telah dekat masa petiknya. Namun kambing-kambing orang ini
memakan dan merusak tanaman saya tanpa dicegahnya. Maka saya minta
keadilan". Orang kedua berkata: "Ya benar saya tak memiliki
sanggahan". Nabi Daud as. memutuskan agar pemilik tanaman mengambil kambing
sebagai ganti kerugian yang dideritanya, dan balasan kecerobohan pemilik
kambing.
Namun Sulaiman berkata
dan memberl sanggahan atas ayahnya dan ia memutuskan engkau serahkan kambing
kepada pemilik ladang, sehingga ia dan keluarganya dapat memanfaatkan susu
kambing, bulu, dan anaknya selama beberapa tahun. Sedangkan pemilik kambing
mengurus ladang dan mengembalikan tanamannya jadi baru. Hingga ketika tanaman
kembali seperti semula, kambing itu pun dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan
demikian, tidak adayang dirugikan dan tidak adayang diuntungkan. Kisahnya
diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Anbiya1 (21) ayat 78-79.
B.
Sejarah
peradilan pra Rasulullah SAW.
1.
Peradilan
bangsa Romawi, Persi, dan Mesir Kuno[3]
Di atas telah dikatakan bahwa sejarah peradilan telah ada
sejak adanya manusia. Begitu juga pada bangsa-bangsa yang telah berkembang
dimasa yang lalu, seperti peradilan bagi bangsa Romawi, Persi dan bangsa Mesir
kuno. Bangsa ini telah memiliki lembaga peradilan yang terorganisir dengan
memiliki undang-undang atau peraturan-peraturan yang dilaksanakan oleh
para qadhi. Bagi bangsa Israel dan bangsa Arab sebelum Islam
berpendapat, bahwa alat-alat bukti dalam peradilan adalah saksi,
sumpah atau keadaan tertangkap basah. Bangsa Barat juga menjelaskan bahwa
peradilan di Barat telah mempunyai tekhnik mengambil keputusan dan alat-alat
pembuktian. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya peradilan pada masa ini telah
ada walaupun masih sederhana.
Hal yang menjadi perhatian bagi bangsa-bangsa pada masa itu dalam
peradilan adalah tentang qadhi. Bagi mereka seorang qadhi harus
mempunyai kemampuan dan baik akhlaknya. Maka tidak akan diangkat seseorang
menjadi qadhi apabila ia tidak mempunyai kemampuan di bidang
ini. Selain itu diperhatikan pula tentang kecerdasannya, kecerdikannya, keluasan
ilmunya, ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya dan keluhuran budinya.
Selain itu seorang qadhi harus diliputi situasi yang
dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang suci. Semakin
tinggi kemajuan bangsa, maka semakin besar pula
jaminan-jaminan tersebut dapat diperoleh oleh para qadhi. Maka
sangat jelas bahwa sejak dulu qadhi memiliki peran yang sangat
penting dalam memutuskan suatu perkara.
2. Peradilan Bangsa Arab
pada Masa Jahiliyah[4]
Bagi masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah pra Islam dapat
dikatakan belum memiliki bentuk maupun system peradilan yang mapan. Mereka
juga tidak mempunyai sulthah tasyri'iyah (badan
legislatif) yang menyusun dan membuat undang-undang atau hukum tertentu
semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai
persoalan dan persengketaan yang sering terjadi di antara
mereka. Karena pada saat itu di jazirah Arab sama sekali tidak
terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan
politik (negara) secara nyata. Namun mereka telah memiliki gadhi untuk
menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi (kebiasaan) dan adat istiadat
yang berlaku di masing-masing kabilah (suku) untuk menjadi pedoman utama dalam
menyelesaikan berbagai persoalan. Kepala-kepala kabilah memutuskan hukum antara
anggota kabilah. Adat-adat kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau dari
kepercayaan atau dari bangsa-bangsa yang berdiam di sekitar mereka,
seperti bangsa Romawi, Persia, atau dari orang-orang yang berdiam bersama-sama
di daerah tersebut yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa'ri) yang biasa dilakukan
oleh suku-suku Arab pra Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana,
terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru sering
kali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya
suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realita bahwa pada masa itu
masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal
yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari
kalangan bangsawan mereka.
Dalam peradilan
Jahiliyah istilah yang mereka pakai dalam menyebut qadha adalah hukumah,
sedangkan qadhi mereka
sebut hakam. Setiap kabilah memiliki hakam sendiri dan hukuman (badan peradilan) bagi mereka tidak ada yang
berdiri sendiri kecuali bagi suku Quraisy.
Dalam menyelenggarakan peradilan tempat-tempat yang dipakai untuk
memutuskan perkara, sidang-sidangnya dapat dilakukan dimana saja. Seperti dilakukan
di bawah pepohonan atau kemah-kemah yang didirikan. Peradilan juga pernah
dilakukan di pasar kota tempat pengadilan bagi hakim pasar. Amir ibn Zharib
duduk untuk memutuskan hokum di depan rumahnya. Sampai akhirnya mereka membangun
rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang khusus untuk pengadilan.
Di antara bangunan-bangunan pengadilan yang termasyhur
ialah Darun Nadwah yang berda di Mekah, dan bangunan itulah
yang pertama kali didirikan di sana. Bangunan ini dibangun oleh Qushay bin
Ka'ab dan pintunya dihadapkan mengarah ke Ka'bah. Pada permulaan Islam bangunan
itu menjadi tempat tinggalnya para Khalifah dan amir-amir di waktu musim haji.
Pada pertengahan abad ke III Hijriyah setelah bangunan itu roboh dan goyang,
maka Khalifah Mu'tadlid al-Abbasy (281 H) memerintahkan agar bangunan tersebut
dihancurkan sama sekali dan memasukkannya ke dalam batas Al-Masjidil
Haram
C. Sejarah peradilan islam pada masa Nabi SAW
1. Rasulullah sebagai
pemegang Otoritas Jurisdiksi
Berbicara
mengenai peradilan islam, tentu tidak terlepas dari masa Rasulullah SAW. Setelah
Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, mulailah beliau menyampaikan risalah
dakwah kepada penduduk Makkah, terutama masalah aqidah selama 13 tahun. Kondisi
umat islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbagai
tekanan dan penindasan terjadi, sehingga belum memungkinkan untuk melaksanakan
berbagai ketentuan agama terutama masalah peradilan, kemudian Allah SWT
memerintahkan Rasulullah SAW hijrah ke Madinah untuk melanjutkan risalah
dakwahnya.
Berbeda dengan di
Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat islam semakin banyak,
sementara Rasulullah SAW dijadikan sebagai pemimpin oleh masyrakat Madinah baik
umat islam maupun non-islam, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan
berbagai ketentuan agama dan tuntunan syariah. Permasalahan semakin bertambah
di masyarakat terutama masalah muamalah, dan setiap permasalahn yang terjadi
senantiasa di hadapkan kepada Rasulullah SAW., dan beliau menyelesaikan
permasalahan berdasar apa yang telah di wahyukan oleh Allah SWT kepadanya.[5] Maka
dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan
senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam firman Allah SWT yang artinya:
"Dan hendaklah kamu
memutus perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkn kamu dari sebagian apa yang telah
diturunkn Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yng telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagaimana dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."[6]
Tidak ada seorang pun
umat Islam selain Rasulullah sendiri yang men-tasyri'-kan hukum pada suatu
kejadian, baik untuk dirinya maupun orang lain. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan hukum islam langsung ditanyakan dan diberi kata putus oleh rasulullah,
tidak ada masyarakt yang berani melakukan ijtihd sendiri. Rasulullah memberi
fatwa, menyelesaikn persengketan, menjawab pertanyaan-pertanyaan kadang dengan
legitimasi satu atau beberapa ayat dari Al-Quran yang diwahyukan oleh Allah,
dan kadang-kadang dengan ijtihad Rasulullah yang bersandar kepad ilham dari
Allah, atau berdasar pada petunjuk akal bahats-nya serta penetapan penetapan
terhadap masalah yang dimaksud. Hukum-hukum yang bersumber dari Rasulullah
menjadi undang-undang bagi umat islam yang wajib diikuti. Baik hal tersebut
bersumber dari wahyu Allah maupun hasil ijtihad Rsulullah sendiri.
Kehidupan
manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak,
maka kehidupan mereka akan menjadi liar. Dengan adanya undang-undang bagi
kehidupan masyarakat belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan
menertibkannya, karena manusia terkadang berselisih mengenai undang-undang
tersebut, bahkan ada yang secara terang-terangan menentang rumusan
undang-undang itu atau memungkirinya. Maka peradilanlah yang akan berperan
menentukan makna undang-undang dengan secara sempurna.[7]
Fungsi peradilan
sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelasaikan dan memutuskan setiap
perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan
ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Pada zaman Nabi SAW
proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana.
Jika ada seseorang
yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk
meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat
tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan
oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa”. dengan model tanya-jawab,
dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering
dipahami di masa sekarang.
Dihadapan Nabi SAW.,
kedua belah pihak bebas mengemukakan isi hatinya sehingga masing-masing dapat
mendengarkan pembicaraan pihak lawannya. Alat-alat bukti bagi Nabi adalah
pengakuan, saksi, dan sumpah[8]
Namun meskipun proses
peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika
terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah
keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli)
mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
2. Para Hakim di Zaman
Rasulullah saw.[9]
Di kota Madinah
Rasulullah SAW., menjadi hakim satu-satunya. Namun ketika wilayah kekuasaan
islam meluas, maka Nabi mulai menugaskan para sahabat untuk menjadi gubernur
disebagian daerah dan sekaligus sebagai hakim. Mengingat jauhnya tempat yang
memerlukan putusan perkara dari kota Madinah. Diantara yang di tugaasi beliau
adalah Mu’az bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib menjadi gubernur sekaligus
menjadi Hakim di Yaman, ‘Attab bin Asid ditugaskan ke Mekkah, Ibn Hajar
Al-Asqalani menerangkan, bahwa banyak hadis yang memberi pengertian bahwa
tiap-tiap daerah memp[unyai hakim sendiri. Namun Rasulullah SAW sangat teliti
dalam memilih atau mengangkat sahabat dalam dalam mengemban tugas sebagai
Hakim. Terbukti ketika Mu’az bin Jabal ingin diutus ke Yaman Rasulullah melakukan
tes kelayakkannya.
Namun dalam kasus Ali
bin Abi Thalib belai mengangkatnya tanpa menguji terlebih dahulu. Ini di
karenakan beliau sangat mengetahui kapabilitasnya.
Hal-hal yanng tidak
dapat diputuskan oleh hakim-hakimdaerah, disampaikan kepada Rasulullah saw maka
Rasul membenarkan purusan-putusan hakim daerah tersebut itu atau
membatalkannya.
Pada zaman Rasulullah,
telah dikenal adanya peninjauan kembali suatu putusan hukum yang telah
dijatuhkan .
D. Peradilan pada masa
sahabat (Khulafaurasyidin)
1. Masa khalifah Abu Baqar
As-Shidiq[10]
Sepeninggal
Rasulullah SAW pucuk pimpinan pemerintahan Islam digantikan oleh Abu Bakar,
ditangan Abu Bakar ini kondisi peradilan Islam tidak banyak mengalami
perubahan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad
sepeninggal Rasul SAW, peperangan melawan Nabi palsu Musailah Al
Kadzab, menundukkan kaum pembangkang yang tidak mau menunaikan zakat,
serta urusan politik dan pemerintahan yang lainnya, di samping belum meluasnya
kekuasaan Islam pada masa itu.
Dalam
menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan, Abu Bakar selalu melihat
isi Al Qur’an, jika ia menemukan hukum Allah di dalam Al Qur’an atas
persoalan yang dihadapi maka ia memutuskan perkara dengannya. Akan
tetapi jika tidak ditemukan maka ia mengambil keputusan berdasarkan
sunah-sunah Rasul. Jika ia belum menemukan keputusan berdasarkan Al
Qur’an dan sunah Rasul, maka Abu Bakar berinisiatif mengumpulkan para
sahabat untuk diminta keterangan terhadap perkara yang dihadapi,
barangkali ada di antara para sahabat yang mengetahui hukum Rasul terhadap
perkara yang di hadapi. Dan manakala tidak bisa diambil keputusan dengan
tiga jalan tersebut, maka ia bermusyawarah dengan para
sahabat untuk menentukan putusan yang hendak diambil, jika semua yang hadir sependapat untuk menetapkan suatu hukum, maka Abu Bakar berpegang pada keputusan itu. Inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk ijma’.
sahabat untuk menentukan putusan yang hendak diambil, jika semua yang hadir sependapat untuk menetapkan suatu hukum, maka Abu Bakar berpegang pada keputusan itu. Inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk ijma’.
Salah
satu riwayat menyebutkan bahwa pada masa Abu Bakar ini, urusan Qodo’
diserahkan kepada Umar Bin Khotob selama dua tahun lamanya, tetapi
tidak seorang pun yang datang untuk menyelesaikan suatu perkara,
karena para sahabat yang berperkara mengatahui bahwa Umar adalah
seorang yang sangat tegas. Dan juga karena faktor pribadi pribadi kaum
muslimin pada masa itu yang dikenal sangat saleh dan
toleran terhadap sesama muslim, sehingga faktor inilah yang sangat
membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.
2.
Masa khalifah Umar bin Khatab[11]
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Khattab, terjadi perkembangan baru di bidang peradilan. Khalifah Umar
memisahkan antara kekuasaan peradilan (yudikatif) dengan kekuasaan
pemerintahan (eksekutif), hal ini dipengaruhi oleh semakin meluasnya
wilayah kekuasaan Islam, semakin banyaknya beban-beban yang
menyangkut bidang peradilan, tugas-tugas yang dihadapi oleh pemerintahan dalam
bidang politik, sosial dan ekonomi, keharusan peningkatan perhatian dalam
urusan pemerintahan di
daerah-daerah, serta telah berbagai corak ragamnya dan pergaulan orangorang Arab degan orang-orang lain pun sudah sangat erat. Maka khalifah Umar Bin Khatab mengangkat Abu Darda’ sebagai qod}i’ di Madinah, dan Syuraih Bin Qais Bin Abil Ash di Mesir, Abu Musa Al Asy’ari di Kuffah, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Menurut kitab Tarikhul Islam, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Usman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah. Oleh karena tugas peradilan sebagian dari kewenangan umum itu, maka kepala negaralah yang memegang wewenang ini dan dialah yang mengangkat para hakim untuk perkara-perkara khusus. Karena itulah diwaktu Umar mengangkat beberapa orang menjadi hakim, beliau membatasi wewenang mereka dalam perkara-perkara perdata saja, perkara perkara pidana dipegang sendiri oleh khalifah, atau oleh penguasa daerah. Para khalifah senantiasa mengawasi perbuatan para penguasa daerah dan hakimnya. Serta terus-menerus memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan-bimbingan.
daerah-daerah, serta telah berbagai corak ragamnya dan pergaulan orangorang Arab degan orang-orang lain pun sudah sangat erat. Maka khalifah Umar Bin Khatab mengangkat Abu Darda’ sebagai qod}i’ di Madinah, dan Syuraih Bin Qais Bin Abil Ash di Mesir, Abu Musa Al Asy’ari di Kuffah, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Menurut kitab Tarikhul Islam, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Usman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah. Oleh karena tugas peradilan sebagian dari kewenangan umum itu, maka kepala negaralah yang memegang wewenang ini dan dialah yang mengangkat para hakim untuk perkara-perkara khusus. Karena itulah diwaktu Umar mengangkat beberapa orang menjadi hakim, beliau membatasi wewenang mereka dalam perkara-perkara perdata saja, perkara perkara pidana dipegang sendiri oleh khalifah, atau oleh penguasa daerah. Para khalifah senantiasa mengawasi perbuatan para penguasa daerah dan hakimnya. Serta terus-menerus memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan-bimbingan.
3.
masa khalifah Utman bin Affan dan Ali bin Abhi Thalib[12]
Ustman adalah
khalifah yang mula-mula membangun gedung pengadilan, yang di masa Abu
Bakar dan Umar masjidlah yang dijadikan sebagai tempat pengadilan. Demikian
juga, di masa khlifah-khalifah ini telah ditertibkan gaji bagi pejabat-pejabat
peradilan dengan diambilkan dari kas baitul maal yang mula-mula dirintis
di masa khalifah Abu Bakar ra. Demikian pula khalifah Ali Bin Abi Thalib mengangkat
Abu Nakhai sebagai gubernur di Ustur dan Mesir dengan peran perannya,
agar ia bertaqwa kepada Allah dan agar hatinya diliputi rasa
kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan
memilih penasihat-penasihat, serta dijelaskannya tentang siasat
pemerintahan.
Di dalam masa Khulafa’ Rasyidin, belum diadakan panitera dan buku register untuk mencatat putusan-putusan yang telah dilakukan, hal ini disebabkan karena qhodi’lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya. Pada masa itu, hakim di samping bertindak sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum agar dijalani. Kebanyakan hakim pada masa itu duduk di rumahnya sendiri menerima dan memutuskan perkara, karena pada masa itu qhodi’ belum memiliki tempat
khusus (gedung pengadilan). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa, karena masjid-masjid pada masa itu tidak hanya khusus untuk tempat bersembahyang, yang memang demikian sebenarnya fungsi masjid. Ia merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial seperti peradilan, bahkan merupakan kantor pusat pemeritahan, dan juga sebagai tempat perguruan tinggi.
E.
Peradilan pada masa Bani Umayyah[13]
Perkembangan peradilan pada masa bani
Umayah menunjukkan perubahan, di mana khalifah mempunyai peranan
besar karena ia mengangkat para hakim di ibukota pemerintahan, sedang
untuk hakim di daerah diangkat oleh gubernur. Akan tetapi masing-asing
hakim itu tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan hakim yang
lain. Hakim ibu negara sendiri tidak bisa membatalkan putusan hakim
daerah. Kekuasaan pembatalan putusan hakim itu hanya dipegang oleh
khalifah sendiri atau wakilnya.
Tugas para hakim di masa itu hanyalah
mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang diserahkan kepadanya.
Tentang pelaksanaan hukuman, maka kadang-kadang diawasi sendiri oleh hakim
atau diawasi oleh orangorang yang ditunjuk oleh hakim. Peradilan di masa bani
Umayah mempunyai dua ciri khas yaitu:
a.
Hakim memutuskan perkara berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri,
hakim pada umumnya adalah seorang mujtahid. Sehingga tidak ada qodi’
yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak
ada ketentuan nashnya dari Al Qur’an atau sunah Nabi SAW. Atau ijma’
dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan
dalam menetukan hukumnya, maka ia meminta bantuan ahliahli
fiqh yang berada di kota itu. Dan banyak di antara
mereka berkonsultasi dengan pemerintah atau penguasa dalam mencari
suatu ketentuan pendapat.
b.
Lembaga peradilan pada masa itu tidak dipengaruhi oleh
penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyi hak otonom yang
sempurna. Oleh karena itu qodi’-qodi’ pada masa itu
keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan
pribadi, sehingga keputusan mereka itu benar benar berwibawa,
meskipun terhadap para penguasa itu sendiri. Putusan
mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku
atas penguasa sendiri. Dari sudut lain, khalifah sendiri
selalu mengawasi keputusan yang mereka keluarkan,
di samping adanya pemecatan bagi siapa yang berani melakukan
penyelewengan.
Pada masa ini, lahir pemikiran tentang adanya pencatatan keputusan hukum. Adapun yang mula-mula mencatatnya adalah qodi’ Mesir di masa ke khalifahan Muawiyah yang bernama Salim Bin Atas. Pernah suatu kali terjadi sengketa harta pusaka (warisan) yang telah diputus, kemudian di lain waktu pihak-pihak yang berperkara itu menginkari keputusan itu, kemudian mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut. Sesudah hakim memutuskan sekali lagi perkara itu, maka putusan tersebut dicatat serta dihimpun dalam buku khusus dan itu merupakan suatu keputusan yang pertama kali dibukukan.
F.
Peradilan di Masa Bani Abbas
dan Sesudahnya[14]
Di
masa bani Abbas ini, peradaban telah semakin meluas, dan berbagai kasus
telah terjadi akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan,
perekonomian dan kemasyarakatan, maka membawa akibat pula saling berselisih
dan berbeda pendapat antara ahli-ahli fiqh, dan timbullah mazhab-mazhab
sehingga timbul pula taqlid, yang hal ini mempengaruhi juga terhadap
keputusan-keputusan qodi’ di antara perubahan-perubahan yang terjadi pada
masa ini adalah:
a. Lemahnya
ruh ijtihad hakim dalam menetapkan hukum, lantaran telah berkembang mazhab
empat. Karenanya, hakim diminta memutuskan perkara sesuai dengan mazhab
yang dianut oleh penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq
hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan
Mghribi hakim memutusakan perkara dengan mazhab Malik, dan di Mesir
dengan mazhab Syafi’i. Dan apabila dua yang berperkara yang bukan
dari pengikut mazhab yang termasyhur di negeri itu, maka ditunjuklah
seorang qodi’ yang akan memutus perkara itu sesuai dengan mazhab yang
diikuti kedua belah pihak yang berperkara.
b. Para
hakim memutuskan perkara di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam
masa ini ada sebagian khalifah Abbasiyah yang ikut campur dalam
penanganan perkara oleh qodi’, sehingga hal ini menyebabkan
menjauhnya fuqoha’ dari jabatan ini (hakim).
c.
Lahirnya istilah atau kedudukan Qodi’ Al Qudot, lembaga tersebut berhak
mengangkat dan melakukan pengawasan terhadap tugas-tugas hakim,
kekuasaan peradilan semakin meluas meliputi kekuasaan kepolisin,
kepegawaian, baitul maal, dan mata uang. Qodi’ qudot ini berkedudukan
di ibukota negara. Dialah yang mengangkat hakim-hakim di daerah. Qodi’
qudot yang pertama ialah Al Qodi’ Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim,
penyusun kitab Al Kharaj. Hal ini terjadi di masa Harun Al Rasyid,
yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan memperhatikan keadaan
hakim-hakim.
Pada masa ini barulah peradilan disusun menjadi instansi tersendiri, dengan ini maka hakim hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu di bawah pengawasan Qodi’ qudho yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah Islam satu demi satu melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad, maka di tiap-tiap daerah itu diangkat pula Qodi’ qudot.
Kewenangan hakim di masa ini di
samping memperhatikan urusan-urusan perdata, juga menyelasaikan
urusan-urusan waqaf dan menunjukkan kurator untuk
anak-anak yang di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim-hakim
ini juga menangani urusan-urusan
kepolisian, penganiayaan yang dilakukan penguasa, qishas, hisbah,
pemalsuan mata uang dan baitul maal.
G. Tujuan peradilan dalam islam
Dasar
dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu:
1.Bahwa
penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib.
2.Bahwa
dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.
3.Syari’ah
selain Islam adalah batil (taghut).
Dengan
kerangka seperti ini, sistem Peradilan Negara Islam dijalankan dan Berdasarkan
pemahaman ini maka definisi Peradilan dibangun berdasarkan syari’ah sehingga
definisi dan tujuan Peradilan adalah memberikan putusan-putusan yang sah untuk
menetapkan berbagai pendapat yang muncul terhadap hukum Allah dalam berbagai
situasi, dengan kewenangan untuk memaksa mereka. peradilan Islam
mempunyai tujuan pokok :
a. Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
b. Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
Secara filosofis peradilan agama dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan
hukum dan keadilan dalam pergaulan hidup manusia, khususnya dikalangan
orang-orang beragama islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasaiat, hibah,
wakaf, dan shadaqah.[15]
BAB III
ANALISIS PEMAKALAH
PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM DI INDONESIA
Hukum islam
masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam yang dibawa oleh para
saudagar Muslim dari Timur Tengah. Seminar masuknya islam keindonesia yang
diselenggarakan di medan tahun 1963 menyimpulkan bahwa islam masuk ke indonesia
sejak abad ke-7. sebelum islam masuk ke indonesia, hukum yang berlaku di
indonesia adalah hukum yang berlaku di dikalangan masyarakat adalah hukum adat masing-masing
yang sangat majemuk. Daerah pertama kali didatangi oleh saudagar muslim itu
adalah pesisir sumatera utara dengan terbentuknya komunitas muslim pertama di
peureulak aceh timur.
Pada awal masa islam masuk ke indonesia, komunitas islam sangat
sedikit dan pemeluk islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang
berhubungan dengan hukum islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk
seseorang yang dipandang ahli untuk menyelesaikannya. Apapun keputusan yang
akan dijatuhkan oleh orang yang ditunjuk itu keduanya harus taat untuk
mematuhinya.[16]
Cara seperti ini disebut tahkim. Tradisi ini merupakan cikal bakal peradilan
agama di Indonesia. Orang yang ditunjuk sebagai hakim itu disebut muhakkam yang
bertuhas untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul diantara mereka.
Pada awal datang islam ke indonesia, muhakkam ini adalah orang yang menguasai
ilmu pengetahuan secara luas yang dalam kehidupan sehari-hari disebut ulama.
Setelah agama
islam berakar dalam mayarakat, peranan ulama sangat menonjol. Mereka bertinadak
sebagai guru dan pengawal hukum islam.[17]
Setelah terbentuknaya kerajaan-kerajaan islam di indonesia kelompok masyarakat sudah teratur, jabatan hakim atau qadli dapat
dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul halli wal ‘aqdi yakni
pengangkatan atas seseorang yang dipercaya oleh majelis atau kumpulan
orang-orang terkemuka dalam masyarakat. Sedang dalam suatu negara yang
berpemerintahan, susunan jabatan tersebut dapat dilaksanakan dengan pemberian tauliyah
yakni pemberian kekuasaan dari penguasa
Sultan Malikus Shaleh dari Samudera Pasai merupakan raja Islam
pertama yang memberikan bentuk tauliyah kepada hakim atau qadli dalam
pelaksanaan hukum Islam. Seiring perkembangan Islam maka hakim yang
melaksanakan peradilan diangkat oleh Sultan atau Imam atau Raja.[18]
Pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat pengakuan secara resmi.Pada tahun
1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No.152 yang merupakan
pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di
Indonesia.
Karena Staatsblad ini
tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie, maka
pada tahun 1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116.Staatsblad ini mencabut
wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah –
masalah lain yang berhubungan dngan harta benda, terutama tanah.Sejak itulah
kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan
perceraian.Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa Peradilan Agama pada
masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan
pegukuhan dari Peradilan Negeri.
Pada tahun 1942 indonesia diduduki oleh Jepang. Dimasa penjajahan Jepang tidak ada perubahan yang berarti
menyangkut Peradilan Agama. Sampai Jepang kalah perang dan Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya.[19]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, atas usul Menreri Agama yang
disetjui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa pengadilan Agama
diserahkan dari kekuasaan Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama dengan ketetapan
Pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946. Pada masa ini tidak sada perubahan
dari peradilan Agama di Indonesia yang ada hanya usaha-usaha pelestarian
Peradilan Agama tersebut
Pada masa Pemerintah Orde Baru terlihat memberi perhatian terhadap
peradilan agama sejak tahun 1970 dengan lahirnya UU. No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dengan
adanya UU ini kedudukan peradilan Agama menjadi sama dan sejajar dengan
peradilan lainnya.[20]
Pengadilan agama di indonesia telah memiliki kedudukan yang sama
dan sejajar dengan peradilan lainnya berdasarkan UU. No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Setiap pengadilan memiliki jenis perkara masing-masing. Berdadarkan
pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 Jenis perkara yang ditangani dalam pengadilan
agama adalah tentang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, perkara wakaf, dan
sedekah. Setelah d amandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006 ada tambahan wewenang
yaitu zakat, infak, dan ekonomi syariah.
Dari
semua kewenangan tersebut pengadilan agama hanya berwenang dalam hal perdata
saja sedangkan dalam halam pidana tidak. Jika dilihat dari aspek Dasar
dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu: Bahwa penerapan hukum-hukum
Islam dalam setiap kondisi adalah wajib. Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain
selain Islam. Dan Syari’ah selain Islam
adalah batil (taghut). Hal ini jelas bahwa penerapan hukum islam dalam setiap kondisi
adalah wajib, jadi seharusnya dalam penerapan pengadilan agama membahas juga
mengenai hukum pidana, jika hukum pidana berlandaskan syariah sejahteralah
indonesia sebab sebaik-baiknya hukum adalah hukum syari’ah. Contoh di Arab
saudi yang menerapkan hukum islam, bahkan undang-undang dasar negaranya adalah
Al-Qur’an, terbukti mereka sejahtera dalam sistem pemerintahannya.
Contoh di indonesia sendiri di provinsi Nangreo
Aceh Darussalam yang telah diresmikan Mahkamah Syari’ah pada tahun 2003. Dalam
penerapannya terbukti di Aceh telah sejahtera karena dalam Peraturan Daerahnya
dibentuk berdasar syari’at islam.
Dalam hal ini rakyat harus perperan aktif dalam
hal penerapan hukum untuk mencapai kesejahteraan. Mengapa demikian, Karena unsur
terbentuknya negara adalah adanya rakyat, jika rakyat berperan aktif dalam
pembentukkan hukum, khususnya hukum syariah (baik perdata maupun pidana) dalam
penerapannya pada pengadilan agama, tidak menutup kemungkinan indonesia akan
sejahtera. Dengan cara apa, Cengan cara terlibat aktif dalam lembaga
pemerintahan.
BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
1.
Peradilan pra islam: peradilan pertama telah terjadi sejak adanya manusia di dunia
ini. Nabi Adam as., pernah menjadi
hakim dalam perselisihan antara kedua anaknya yaitu qobil dan habil. Namun
adanya bentuk peradilan masa itu belum dikatakan peradilan yang dikenal
sekarang. Kemudian hakim pertama adalah Nabi Daud as., dan Nabi Sulaiman as.
Yang masing-masing telah diuji oleh Allah. Pada masa ini menjelaskan bahwa
hakim harus mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak sebelum memutus
perkara dan mendengarkan para saksi
2.
peradilan pra Rasulullah: bagi masyarakat Arab pada zaman jahiliah
pra islam dapat dikatakan belum memiliki sistem peradilan yang mapan. Mereka
tidak mempunyai badan yang menyusun undang-undang atau hukum tertentu untuk
menyelesaikan permasalahan. Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi dan adat
istiadat yang berlaku dimasing-masing kabilah, dimana kepala-kepala kabilah
yang memutuskan hukum. Dalam kasus pidana mereka menggunakan hukum balas
dendam.
3.
Pada
masa rasulullah Permasalahan semakin
bertambah di masyarakat terutama masalah muamalah, dan setiap permasalahn yang
terjadi senantiasa di hadapkan kepada Rasulullah SAW. Maka dari itu keadilan
dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar. meskipun proses peradilan
masa Rasulullah berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa
ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran
sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan
(qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak. Kehidupan manusia pada setiap masanya selalu
membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi
liar. Maka peradilanlah yang akan berperan secara sempurna
4.
Peradilan
pada masa khulafaurrasyidin: Di
dalam masa Khulafa’ Rasyidin, belum diadakan panitera dan bukuregister untuk
mencatat putusan-putusan yang telah dilakukan, hal ini disebabkan
karena qhodi’lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang
dikeluarkannya. Pada masa itu, hakim di samping bertindak
sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum agar
dijalani.
5.
Peradilan pada masa Bani Umayyah: Pada masa ini, lahir pemikiran
tentang adanya pencatatan keputusan hukum. Adapun yang mula-mula
mencatatnya adalah qodi’ Mesir di masa ke khalifahan Muawiyah yang
bernama Salim Bin Atas. Pada masa ini kekkuasaan pengadilan telah dipisahkan
dengan kekuasaan politik, dan telah terbentuk peradilan yang menangani kasus
hisbah (pengawasan yang baik), serta sudah membentuk beberapa instansi dan
memiliki tugas masing-masing
6.
Peradilan pada masa Bani Abbas: Pada masa ini barulah
peradilan disusun menjadi instansi tersendiri, dengan ini maka hakim-hakim
itu mempunyai daerah-daerah tertentu di bawah pengawasan Qodi’ qudho
yang mengatur lembaga peradilan ini.
7.
Tujuan peradilan islam adalah memberikan putusan-putusan yang sah
dalam Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para pelaku perbuatan yang melanggar huk
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ridha. Jurnal
pemikiran hukum dan hukum islam. 2015
Ahmad Ridha. Jurnal
pemikiran hukum dan hukum islam. :STAIN Kudus 2015
Alaidin Koto. Sejatrah Peradilan Islam. Jakarta: PT
RAJAGRAFINDO PERSADA. 2011
Basiq Djalil. peradilan
islam. Jakarta : Amzah 2012
Cik
Hasan Basri, Peradilan Islam dalam Tatanan
masyarakat Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rossdakarya 2000
Departemen
agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Syamil Cipta Media.
2007
[1] Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2011). Hlm. 17
[2] Ibid. Alaidin Koto. Hlm 17-22
[3] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 23-24
[4] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 29-31
[5] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 37-38
[7] Basiq Djalil, peradilan islam.( Jakarta : Amzah, 2012 ) hal 9
[8] Ibid. Badiq Djali. Hlm. 137
[9] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 50-55
[10]
Ahmad Ridha. Jurnal pemikiran hukum
dan hukum islam.(Jawa Tengah :STAIN Kudus, 2015). Hlm. 22-23
[11] Ibid. Rasyid Ridha. Hlm. 23-24
[12] Ibid. Rasyid Ridha. Hlm. 26
[13] Ibid. Rasyid Ridha. Hlm. 27-29
[14] Ibid. Rasyod Ridha. Hlm. 29-31
[15] Cik Hasan Basri, Peradilan Islam dalam Tatanan masyarakat Indonesia. ( Bandung : PT. Remaja
Rossdakarya, 2000) hal 41
[16] Alaidin Koto. Sejarah
peradilan islam. Hlm.193
[17] Alaidin Koto. Sejarah peradilan islam. Hlm.194
[18] Ahmad Ridha. 2015. Jurnal
pemikiran hukum dan hukum islam. Hlm. 313
[19] Ibid. Ahmad Ridha. Hlm. 326
[20] Ibid. Ahmad Ridha. Hlm.
334
0 komentar:
Posting Komentar