HUKUM
ADAT KETATANEGARAAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Eksistensi hukum adat sebagai living law bangsa
Indonesia semakin hari semakin termarginalkan. Hukum adat yang semula
menjadi hukum yang hidup dan mampu memberikan solusi dalam berbagai
permasalahan pergaulan hidup masyarakat
Indonesia, semakin hari semakin pudar eksistensinya. Saat ini, dalam
kenyataan empiriknya kadangkala banyak bermunculan berbagai masalah
yang dihadapi masyarakat adat Indonesia ketika hukum adat berhadapan dengan hukum positif.
Contohnya ketika hak-hak tradisional masyarakat berhadapan
dengan kepentingan investor melalui sarana hukum negara. Perkembangan
Sistem Hukum Indonesia yang cenderung lebih memilih civil law dan common
law system dan politik hukum Indonesia yang mengarah pada kodifikasi
dan unifikasi hukum, mempercepat lenyapnya pranata hukum adat.
Bahkan tidak dapat dipungkiri kenyataan ini bahwa saat ini, terkait
aktivitas ekonomi, hukum positif bertransformasi menuju
sistem hukum Islam (syariah). Dapat dikatakan bahwa dalam
aktivitas bisnis seperti hukum perseroan, hukum pembiayaan baik dalam
perbankan, pasar modal dan asuransi serta hukum kontrak berlaku
dualisme sistem hukum, yakni konvensional dan syariah. Terkait dengan
eksistensi prinsip syariah dalam aktivitas ekonomi, penulis berpendapat
bahwa justru pranata hukum adat yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi
banyak memiliki kesamaan pandangan dengan prinsip syariah, antara
lain mengutamakan prinsip keseimbangan, larangan eksploitasi tanpa batas
dan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, saat ini selain hukum
Adat, maka prinsip syariah pun menjadi sumber pembentukan hukum nasional.[1]
B.
Rumusan Maslah
Apakah
bidang-bidang hukum membahas
permasalahan yang berhubungan dengan hukum adat ketatanegaraan?
PEMBAHASAN
A.
Hukum Adat
Pengertian hukum adat sebagaimana
yang di sampaikan Ter haar dalam pidato Dies Natalies Rechtshogeschool, Batavia
1937, yang berjudul Het Adatrecht van Nedherlandsch Indie in wetenschap,
pracktijk en onderwijs, menurutnya hokum adat adalah seluruh peraturan yang
ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang dalam pelaksanaannya
“di terapkan begitu saja”, artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan yang
dalam kelahirannya di nyatakan mengikat sama sekali. Definisi Ter Haartersebut kemudian
di kenal dengan nama beslissingenleer. Menurut ajaran ini, hokum adat dengan mengabaikan
bagian-bagiannya yang tertulis (terdiri dari peraturan-peraturan desa,
surat-surat perintah raja) merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang
menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas).
Keputusan tersebut di yakini memiliki kekuatan “wibawa” (macht) serta-pengaruh (involved)
yang dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta merta (spontan) dan tak seorang
pun yang berani membangkang.
Soekanto dalam bukunya Menunjau
Hukum Adat Indonesia, mengemukakan bahwa
“kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak di terbitkan, tidak di
kodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi (dari hukum itu), jadi mempunyai
akibat hukum, kompleks ini di sebut dengan hukum adat. Dengan demikian, hukum adat
itu merupakan keseluruhan adat (yang tidak terulis) dan hidup dalam masyarakat berupa
kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.[2]
B.
Hukum ketatanegaraan
Hukum tata negara dapat
di artikan sebagai salah satu cabang hukum yang mengatur mengenai norma dan
prinsip hukum yang mengatur mengenai norma dan prinsip hukum yang tertulis
dalam praktek ketatanegaran. Hukum tata negara hal-hal terkait ketatanegaraan
seperti bentuk dan susunan negara, tugas-tugas negara, perlengkapan negara, dan
hubungan alat perlengkapan negara tersebut. Selain pengertian secara umum, ada
pula pengertian menurut para ahli. Salah satu ahli yang mengemukakan
pendapatnya mengenai pengertian hukum tata negara adalah Van der pot, dimana ia
mengatakan bahwa hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan
badan-badan yang di perlukan serta wewenang masing-masing, hubungannya satu
dengan yang lain dan hubungan dengan individu yang lain.[3]
C.
Bidang-bidang hukum adat ketatanegaraan
Menurut Prof. H. HILMAN
HADIKUSUMA, S. H., bahwa yang dimaksud dengan hukum ketatanegaraan
adalah:
“Aturan- aturan hukum adat yang mengatur tentang tata susunan masyarakat adat,
bentuk-bentuk masyarakat ( persekutuan ) hukum adat (desa), alat-alat
perlengkapan (desa), susunan jabatan dan tugas masing-masing anggota
perlengkapan desa, majelis kerapatan Adat desa, dan harta kekayaan desa”. [4]
Sehubungan dengan masalah tersebut Prof. BUS. HAR MUHAMMAD, S.H.,
menegaskan bahwa:
“ hukum adat ketatanegaraan adalah bagian dari
hukum adat mengenai susunan pemerintahan”.
Untuk membahas permasalahan yang berhubungan dengan hukum adat
ketatanegaraan ini maka akan diuraikan hal-hal saebagai berikut:
1.
Bentuk desa
Menurut
ketentuan Undang-Undang Norma 5 Tahun 1979 pasal 1 dikatakan bahwa :
“Yang
dimaksud dengan DESA adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk
sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik indonesia. Sedangkan yang namanya
dusun adalah bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja
pelaksanaan pemerintahan desa.”
Dengan demikian sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 5 tahun
1979 maka bentuk bentuk desa lama di jaman hindia belanda yang diatur dalam INLANDSCHE GEMEEMTE ORDONNANTIE (IGO) di
JAWA-MADURA dan INLANDSCHE GEMEEMTE ORDONNANTIE BUITEN (IGOB) di luar
JAWA-MADURA.
Sehubungan dengan kenyataannya dalam penerapan Undang-undang Nomor
5 tahun 1979 tidak berjalan dengan mulus ( lancar) disaebabkan masih nampak
pengaruh dari bentuk-bentuk desa lama( menurut hukum adat) maka bentuk-bentuk
desa lama perlu kita ketahui untuk menjadi bahan pertmbangan dan pemecahan apabila
terdapat kelemahan dalam penerapan undang-undang nomor 5 tahun 1979.
Bentuk-bentuk deasa diseluruh indonesia itu dalam kenyataannya
berbeda-beda dikarenakan berbagai faktor diantaranya[5] :
a.
Wilayah yang ditempati penduduk, ada wilayah yang sempit namun
ditempati oleh penduduk yang padat, ada pula wilayah yang luas ditempati oleh
pendudk yang jarang.
b.
Susunan hukum adat masyarakat, didalam masyarakat (desa) ada hukum
adat yang disusun berdasarkan ikatan ketetanggaan, kekerabatan (genalogis) atau
ada yang berdasarkan ikatan keagamaan.
c.
Sistem pemerintahan adat, nama-nama jabatan pemerintahan adat yang
berbeda-beda dan pengusaan harta kekayaan desa yang berbeda-beda.
2.
Susunan masyarakat desa
Susunan
masyarakat desa di pengaruhi oleh latar belakang di pengaruhi oleh latar
belakang sejarah terjadinya desa dan harta kekayaan yang dimiliki atau dikuasai
oleh keluarga atau kerabat tertentu sehingga menimbulkan kebangsaan desa.
Hukum adat mengenai tata susunan warga meliputi semua yang
mengenai susunan dan ketertiban dalam persekutuan masyarakat
adat. Masyarakat adat disatukan oleh persekutuan hukumnya
masing-masing, yang mana persekutuan hukum memiliki susunan, alat kelengkapan,
dan tugas-tugas. Persekutuan hukum memiliki anggota-anggota yang merasa dirinya
terikat satu sama lainnya, yang bersatu padu, dan penuh
solidaritas. Persekutuan hukum terbentuk berdasarkan faktor
geneologis dan teritorial. Faktor geneologis mengikat orang-orang menurut
garis keturunan. Persekutuan hukum berdasarkan faktor teritorial meliputi,
desa, daerah, dan perserikatan desa.[6]
Eksistensi masyarakat adat di Indonesia diakui secara
konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Amandemen ke-4 Pasal 18B ayat
(2):
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. [7]
Dalam tataran praktis misalnya UUD 1945 yang mengintrodusir
Hak Menguasai Negara, diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan
yang secara tradisional diakui dalam hukum adat. Selain dilindungi
oleh
konstitusi, eksistensi masyarakat adat juga dilindungi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan:
konstitusi, eksistensi masyarakat adat juga dilindungi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan:
Dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia perbedaan dan
kebutuhan, dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah… Identitas budaya masyarakat
hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan jaman.
3.
Pemerintahan Desa[8]
Menurut
ketentuan undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dikatakan sebagai berikut:
“pemerintahan
desa itu terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Dalam
pelaksanaan tugasnya pemerintahan desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri
dari Sekretariat Desa dan Kepala-kepala Dusun”.
Kepala desa adalah penduduk desa warganegara Indonesia yang dipilih
oleh penduduk desa untuk masa jabatan selama 8 tahun, sedangkan LMD Anggota-anggotanya terdiri Kepala Desa
sebagai Ketua karena jabatannya, sekretaris LMD karena jabatannya dan
anggota-anggota lain terdiri dari Kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga
Kemasyarakatan Desa dan para Pemuka Masyarakat Desa yang bersangkutan.
Kemudian Sekretaris Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan
Kepala-kepala Urusan. Sumber Pendapatan Desa adalah berupa pendapatan asli desa
(hasil tanah kas desa, hasil swadaya dan partisipasi masyarakat desa, dan hasil
usaha desa yang sah. Kemudian disamping itu pendapatan berupa pemberian
pemerintah daerah berupa sumbangan dan bantuan serta pajak dan retribusi daerah
yang diberikan kepada desa).
4.
Harta kekayaan Desa[9]
Didalam
Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang PEMERINTAHAN DESA tidak diatur
mengenai harta kekayaan desa. Pada bagian 8 tentang sumber pendapatan,
kekayaan, anggaran, pengeluaran, keuangan desa ( pasal 21) dikatakan bahwa:
a.
Pendapatan asli daerahb sendiri :
(1).
Hasil tanah-tanah kas desa
(2).
Hasil swadaya dan pertisipasi masyarakat desa
(3).
Hasil dari gotong royong masyarakat
(4).
Lain-lain hasil dari usaha desda yang sah
b.
Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan pemerintah
daerah
(1).
Sumbangan dan poembe pemerintah
(2).
Sumbangan dan bantuan pemerintah daerah
(3). Sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada
desa
c.
Lain-lain pendapat yang sah
Menurut
hukum adat suatu desa sebagai badan hukum adat mempunyai harta kekayaan desa
yang memiliki atau dikuasai oleh desa baik berupa tanah, bangunan,
hutang-piutang dan lainnya. Dimasa sekarang ini menyangkut pemilikan tanah atau
penguasaan tanah harus mengingat UUPA ( Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).
Pasal
1 ayat (2) UUPA dinyatakan:
“seluruh
bumi, air dam ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkansung didalamnya
adalah wilayah Republi Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air, dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dn merupakan kekayaan nasional”.
Pasal
2 ayat (1) menyatakan:
“Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1 bumi, air
dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tinggkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat”.
Marilah
kita tinjau kembali tentang harta kekayaan desa menurut Hukum Adat yang
dibeberapa daerah masih dianggap berlaku menurut hukum adat setempat. Harta
kekayaan tersebut berupa bidang-bidang tanah,
bangunan dan mungkin juga kalau ada berupa hutang piutang dan
lain-lainnya
PENUUTUP
SIMPULAN
hukum ketatanegaraan adalah: Aturan- aturan
hukum adat yang mengatur tentang tata susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk
masyarakat ( persekutuan ) hukum adat (desa), alat-alat perlengkapan (desa),
susunan jabatan dan tugas masing-masing anggota perlengkapan desa, majelis
kerapatan Adat desa, dan harta kekayaan desa. Hukum adat ketatanegaraan adalah
bagian dari hukum adat mengenai susunan
pemerintahan. Berkenaan dengan relevansi hukum adat
dalam perkembangan hukum nasional, maka sebagian dari pranata
(lembaga) hukum adat masih relevan. hukum adat diyakini berperan
untuk menjaga nilai-nilai yang dihasilkan oleh masyarakat, dan pada
akhirnya diharapkan dapat menjaga hasil pembangunan. Mengacu pada
eksistensi hukum Adat dalam hukum potitif Indonesia, dapat dikatakan bahwa
hukum Adat masih diakui, bahkan menjadi sumber hukum yang dapat
dirujuk dalam mengantisipasi perkembangan global. Pemerintah seyogyanya
mengeksplorasi nilai-nilai dalam hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia
dalam pembentukan hukum nasional di masa yang akan datang.
DAFTAR
REFERENSI
Dedi
Ismatullah dan Beni Ahmad Saeban. Hukum
Tata Negara. Bandung : CV PUSTAKA SETIA.
2009.
Lastuti
Abubakar. Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum dalam Membangun
sistem Hukum Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum. Bandung: Universitas
Padjadjaran. 2013
Majelis
Permusyawaratan Rakyat. UUD 1945 dan Perubahannya. (Jakarta: REDAKSI
CMEDIA. 2012
Suriyaman
MustariPide. Hukum Adat. (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP. 2014.
Tolib Setiady. Intisari
Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan). Bandung: Alfabeta. 2013
[1] Lastuti Abubakar. Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum
dalam Membangun sistem Hukum Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum. (Bandung: Universitas
Padjadjaran, 2013). Hlm. 319-320
[2] Suriyaman MustariPide. HUKUM
ADAT. (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2014) hlm. 4-5.
[3] Dedi Ismatullah Dan Beni Ahmad Saeban. HUKUM TATA NEGARA, (Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2009) hlm 5.
[4] Tolib Setiady. Intisari Hukum Addat Indonesia (Dalam Kajian
Kepustakaan). (Bandung: Alfabeta, 2013). Hlm. 377
[5] Ibid. Tolib Setiadi. Hlm. 378
[6] Ibid. lastuti Abubakar. Hlm. 323
[7] Majelis Permusyawaratan Rakyat. UUD 1945 dan Perubahannya. (Jakarta:
REDAKSI CMEDIA, 2012). Hlm. 13
[8] Ibid. Tolib Setiady. Hlm. 383
[9] Ibid. Tolib Setiady. Hlm. 388-389
0 komentar:
Posting Komentar